Mengapa
Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati
Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak
ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Pada
tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar
Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat
masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan
nasional Indonesia (Satu Abad Kartini 1879-1979, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1990, cetakan ke-4).
Dari
penelusurannya itu dia menyimpulkan jika Sebenarnya kita mengambil alih
Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang
Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun
kemudian kitalah yang mengembangkannya
Harsja
juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan
sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita
yang hebat dalam sejarah Indonesia.
Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh
Kedua, Datu ( Ratu ) Siti Aisyah We Tenriolle.
Anehnya,
dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan
Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres
Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal,
kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal
sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu
pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab,
Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan
kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar
dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.
Ia
juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di
daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan
timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu
1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria
maupun untuk wanita.
Tokoh
wanita kedua yang pantas menggantikan kartini adalah Siti Aisyah We
Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan,
tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang
ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari
sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio.
Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun
1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat
pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun
untuk wanita.
Penokohan Kartini Betul-Betul Merupakan Pilihan Belanda
Penelusuran
Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan
kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk
ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di
Indonesia.
Mula-mula
Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah
Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang
mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan
Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Abendanon
mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini.
Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan
Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan
yang sangat mengesankan kedua belah pihak.
Ringkasnya,
Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita
aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita
Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme
H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah
orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih
dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun
1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul
Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya
dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian,
terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua
tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan
sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite
Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana
ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang
di Belanda.
Hal
yang teramat aneh (dalam penelusurannya) adalah : Orang-orang Indonesia
sendiri terutama dilingkungan Kartini berasal, dalam masa kehidupan
Kartini, hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal
Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini
Kami
sendiri sangat mengharap, terutama pembaca lintas frekuensi yang bukan
sekedar ikut-ikutan, untuk mengimbau agar informasi tentang
wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dalam hal KEIMANAN untuk dibuka
seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan dan suri tauladan banyak
orang.
Jadilah
yang pertama yang secara halus meruntuhkan mitos Kartini. Dan, bilamana
ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih
berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita
kita lebih hebat daripada yang dikira sebelumnya, tanpa memperkecil
penghargaan kita pada RA Kartini.
Dalam
artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar
Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak
dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang
(kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang
tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang
dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu,
sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika
Dewi
Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum
wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan
Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung
dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di
kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia
(1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis
sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat
sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Rohana Kudus dari Padang
Kalau
Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih
jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini
dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya,
Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia
terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita
Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan
kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh,
klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini
hidup ini HARUS SEGERA DI GUGURKAN. Mereka adalah wanita-wanita hebat
yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan
Belanda.
Tengku
Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di
Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang
bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien
dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki
Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Read more: http://lintasfrekuensi.blogspot.com/2011/07/runtuhnya-mitos-ra-kartini-dan-rekayasa.html#ixzz1sjInQDf5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar