Minggu, 08 April 2012

Ilusi Demokrasi nan Disembah-Puja





Ilusi Demokrasi nan Disembah-Puja



Oleh: Apu' Indragiry*


Ilusi pertama:
Suara Mayoritas adalah Suara Tuhan
(Voux Populi Voux Dei)

Inilah janji manis dari genta demokrasi, bahwa rakyat berhak memutuskan segenap keinginannya, dan negara tidak berhak mencampurinya. Namun tidaklah memungkinkan semua rakyat berbicara, maka dibentuklah perwakilan (melalui DPR). Ah, ada-ada saja.

Fakta berbicara:
Apakah benar bahwa rakyatlah yang menentukan?
Kita ambil sampel kecil saja. Kenaikan BBM, Undang-Undang Migas, UUD SDA, BHP, dlsb, apakah rakyat yang menentukan? Apakah mereka menyetujui kenaikan BBM? Apakah rakyat setuju SDA dikeruk orang asing?

Ternyata SEMUA KEPUTUSAN ADA DITANGAN ELIT PENGUASA YANG BERKEPENTINGAN MENGAMBIL UNTUNG DARI TERJUALNYA, SDA, ASET dlsb.

Apakah syariat Islam bisa disodorkan lewat demokrasi? Cobalah kita merenung dari kasus di atas.

Ilusi Kedua:
Agama Tak Turut Campur Dalam Pemerintahan

Inilah fakta yang harus dicermati oleh umat Islam. Suatu saat kami melihat tayangan headline spot di TV One, bahwa Menag mengimbau semua partai yang sedang berkampanye untuk: TIDAK MEMBAWA-BAWA AGAMA DALAM KAMPANYAE POLITIK. Padahal MUI secara nyata IKUT BEKECIMPUNG DI PANGGUNG POLITIK. Inilah ujud asli demokrasi yang tidak KONSISTEN.

Fakta berbicara:
Ketika rakyat sudah capek memilih (tidak mengikuti pemilu dengan GOLPUT) lantaran mereka berpikir, bahwa berkali-kali mengikuti ajang Pemilu hasilnya TIDAK MEMBAWA PERUBAHAN YANG BERARTI. Namun, anehnya MUI dalam sidang IJTIMA’ mengeluarkan fatwanya menakut-nakuti rakyat dengan FATWA HARAMNYA. Seolah-olah rakyat yang tidak mengikuti pemilu (GOLPUT) mereka semua bak memakan daging babi. Padahal mencoblos atau tidak itu adalah hak dari rakyat. Lantas kalau ada paksaan untuk MENCOBLOS apakah layak ihwal ini disebut MEMILIH? Lebih tepat kalau dinamakan INTERVENSI (MEMAKSA) UNTUK MENCOBLOS.

Lantas apa hak MUI ikut cawe-cawe mencebur ke kancah demokrasi? Padahal ada kaidah ‘teologi demokrasi’ bahwa agama tidak berhak mencampuri urusan negara (sekulerisme), dan yang lebih ironis lagi tahun 2005 yang lalu MUI sendiri (JERUK MAKAN JERUK) telah memfatwakan haramnya SIPILIS (demokrasi terlingkup dalam SIPILIS=SEKULERISME-PLURALISME-LIBERALISME).

Lantas mana adagium “Rakyat mempunyai otoritas kedaulatan dengan pepatah ‘SUARA MAYORITAS ADALAH SUARA TUHAN’”

Contoh mutakhir: Kasus Syekh Puji. Apakah hukum formal bisa dan selayaknya menjerat seseorang ketika seseorang itu secara dalil syara’ tetap sah pernikahannya, terlepas dari kontroversi dan sikap berlebihan Syekh Puji sendiri. Padahal dalam demokrasi kita sudah tahu, bahwa pemerintah tidak berhak mencampuri hak individu dalam menjalankan syariat agamanya.

Ilusi Ketiga:

Demokrasi Mensejahterakan dan Mengadilkan

Inilah fatwa demokrasi yang didengung-dengungkan para pengemban demokrasi, bahwa dengan demokrasi rakyat akan adil dan sentosa.

Fakta berbicara:

63 tahun semenjak Indonesia merdeka, bukan kesejahteraan yang didapatkan, namun kemiskinan dan jerat hutang yang memayungi negeri. Almarhum Prof. Mubyarto pernah berkata: “Ekonomi sekarang lebih parah daripada kondisi ekonomi pascapenjajahan.”

Kita lihat, angka kemiskinan melonjak tajam. Jembel-jembel bak lukisan alam yang tak terbantahkan.

ORANG MISKIN DIHARAMKAN KE RUMAH SAKIT. Contoh mutakhir, seorang bayi di RSCM Jakarta tertahan selama 2 bulan di RS, lantaran kedua orang tuanya tidak mampu membayar fee perawatan kepada RS sebesar 30 juta rupiah. Sungguh ironi menyayat hati!

Padahal dalam Islam, KESEHATAN ADALAH WAJIB GRATIS!. Penguasa mesti memberi layanan kesehatan gratis tanpa memandang status.

Fakta selanjutnya, pendidikan tidak terjangkau untuk semua kalangan. Dengan disahkannya UU BHP, maka RAKYAT KECIL HARAM BERSEKOLAH. Bayangkan untuk bisa masuk ke fakultas kedokteran UGM saja harus membayar ratusan juta rupiah. Jadi slogan PENDIDIKAN UNTUK SEMUA hanyalah isapan jempol belaka.

Ilusi Keempat:

Demokrasi Satu-satunya Sistem

Sesungguhnya dalam demokrasi ada kesamaan hak, terlindungnya hukum si miskin.

Fakta berbicara:

Inilah suara kelaliman yang nyata! Sesungguhnya demokrasi modern adalah ciptaan Yahudi (lihat protokol Zionisme, hal 83. Suplemen buku THE INTERNATIONAL JEW, oleh Henry Ford, penerbit Hikmah, Jakarta,2006).

Inilah sistem yang dicangkokkan oleh Yahudi untuk memporakporandakan kesatuan kaum Muslimin (dengan meruntuhkan ke-Khilafahan Utsmaniyah di Turki) melalui gerakan freemansory. Dari gerakan bawah tanah inilah lantas kaum muslimin dipecah-belah hingga berpuluh-puluh bagian (paham nasionalisme) inilah kelicikan Yahudi! Sayangnya hingga kini umat Muslim belum menyadari kesalahannya (masih tersakauw demokrasi CIPTAAN YAHUDI). Dari satu negara (Khilafah Utsmaniyah) hingga kita kini mengenal negara Arab Saudi, Mesir, Yordan, Yaman, Palestina. Siapa dalangnya??? Lagi-lagi mau tidak mau jari telunjuk kita mengarah ke YAHUDI. Dari demokrasi inilah YAHUDI berhasil mecaplok PALESTINA lewat campur tangan PBB (lembaga think-tank Yahudi).

Ilusi Kelima:

Ilusi Tokoh Fiktif Demokrasi

Mereka berbincang tentang kepemimpinan. Dan citra baik dari personal appearance sosok tokoh.

Fakta berbicara:

Mereka membohongi rakyat, tentang arti kepemimpinan sesungguhya. Mereka berlindung di balik 'TOKOH FIKTIF yang mereka cipta dan reka. Bak tokoh utama sebuah novel atau film. Semuanya hanya bualan, fiksi dan rekayasa. Agar mereka bisa meraih kekuasaan seperti apa yang mereka mau. Mereka dengan dana kapitalis yang luarbiasa mendanai kampanye IKLAN, baik di TV, Baliho, Surat kabar, spanduk dan menyembunyikan nafsu hewaniah untuk menangguk untung dari demokrasi. Bahkan di kota Cirebon dan Yogyakarta ada fenomena yang memiriskan, banyak caleg akhwat yang mengenakan kerudung besar dipajang fotonya di pinggir-pinggir jalan bak model fotogenik dengan plus senyumannya, kami tidak tahu bagaimana iffah (kesucian diri) dan muru'ah (kehormatan diri) bisa dipajang disembarang tempat. Wallaahu a'lam


Ilusi Keenam:

Demokrasi Berbiaya Murah

inilah dusta-dusta yang mereka beberkan ke masyarakat yang awam.

Fakta berbicara:

Tiap lima tahun sekali KENDURI DEMOKRASI digelar, tiap lima tahun pula dana puluhan triliun dihamburkan (pemilu), belum lagi untuk uang PILKADA.
Semua tokoh berganti... namun kesejahteraan bak raihan mimpi.

FAKTA KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM:

Kepemimpinan Islam sebagai pembanding:

bayangkan! Jika seorang presiden tidak digaji, gubernur tidak digaji. (lihat kitab, Mafahim Hizb, Syekh Taqiyuddin an Nabhani) apakah kira-kira ada orang yang mau menjadi presiden, wakil presiden, ketua MPR/DPR, anggota DPR/MPR, atau gubernur???

Dalam Islam, seorang khalifah dipilih untuk menjalankan aturan syariat, bukan aturan hukum kufur.

Ia hanya diberi tunjangan (secukupnya) agar hidupnya tercukupi. Beda dengan presiden sekarang yang gajinya ratusan juta per bulan. atau gaji anggota dewan yang per bulannya meraih gaji puluhan juta rupiah.

Kami tantang!! siapa YANG MAU JADI PRESIDEN dan WAKIL PRESIDEN, KETUA MPR/DPR, ANGGOTA DPR/MPR, dan Gubernur yang TIDAK DIGAJI.

Kami yakin seratus persen... semua kandidat CAPRES bakal lari ngibrit, lintang pukang.

Ilusi Ketujuh:

Islam bisa diperjuangkan lewat demokrasi.

Mereka berdalih memilih dharar (bahaya) yang lebih ringan dari dua bahaya daripada Islam masuk ke jurang bahaya jika tidak ada beberapa umat Islam berdakwah lewat parlemen.

Fakta berbicara:
Islam tidak pernah mengajarkan, bahwa untuk MERUBAH SESUATU LANTAS KITA MENCEBUR KEDALAM SESUATU ITU (demokrasi). Inilah dalil yang tidak bersandar kepada Alquran dan Sunah. Bahkan jumhur imam fikih yang masyhur tidak pernah menggunakan dalil maslahat (ISTIHSAN) dalam menggali hukum (ISTINBATH).

Nabi saw. (teladan mulia kita) tidak pernah masuk ke sistem kufur (Quraisy jahili) tetapi ia merubah dari luar sistem kufur itu.

Apakah dalil ketika Nabi Yusuf alaihissalam ketika menjadi menteri keuangan di kerajaan Mesir bisa menjadi dalil untuk umat Islam untuk mencebur ke kancah demokrasi?

Tentu jawabannya tidak bisa. Syariat Nabi Yusuf alaihissalam adalah hanya diperuntukkan untuk kaumnya saja. Kita sebagai umat Muhammad saw. harus menggunakan Alquran dan Sunah Nabi saw., baik qauli (perkataan), taqrir (keberdiaman Nabi) maupun fi'li (perbuatan).

Dalilnya adalah: ketika Umar ibn Khaththab memegang kitab TAURAT, maka muka Nabi saw. Langsung memerah dan bersabda dengan makna begini:
“Andai Musa as. Ada di zamanku, maka ia pasti akan mengikuti jalanku (sunahku).”

Jadi, masihkah memuja ilusi DEMOKRASI?
Masihkah kita berharap pada BERHALA demokrasi-Yahudi?

 
Allaahu a'lam bi ashowaab.

 

Yogyakarta, 27 Maret 2009 10.01

 

* Pujangga Khilafah, Novelis Ideologis, owner klub menulis Dunia Puisi Islami (DPI) dan Sastra of Soul (SOS)

Santri Ma'had Taqiyuddin an Nabhani, Yogyakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar