Rabu, 22 Februari 2012

                                    IBU
Ibu, bagiku kasih masa untukku boleh hanya sepanjang
Hayatku, asalkan kutau kasihmu tetaplah abadi untukku selamanya.
Ibu, tulusnya manusia boleh saja berharap pamrih dariku,
Asalkan kutau tulusnya hatimu tidaklah seperti tulusnya mereka padaku.
                                     Ibu, bagiku kehilangan apa yang sangat aku cintai dari dunia ini
                                     Tidaklah akan memilukan hatiku, melebihi pilunya hatiku
                                     Saatku harus kehilangan kebersamaan denganmu lebih cepat dari pada
                                     Apa yang dapat aku bayangkan.
Ibu, pengorbananmu yang suci mungkin tak-kan pernah terbalas,
Walau untuk itu mungkin aku dapat merampaskan untukmu
Dunia beserta isinya, dari tangan dan jiwa-jiwa penghuninya.
                        Ibu, mungkin aku tak dapat berharap untuk dapat membalas jasa
                        Dan budi baikmu untukku, tetapi demi ALLAH dan Rosulnya, demi
                        Langit dan Bumi.
Aku berikral bahwa Daku tak-kan berhenti berusaha untuk
Dapat berbakti dan berdo’a untukmu,
Agar kiranya ALLAH mengampuni dosa-dosamu dan membangunkan
Singgasana untukmu di Syurga-NYA.

Selasa, 21 Februari 2012

Kisah Wanita Sholehah Yang Buruk Rupa, Meluluhkan Hati Sang Ulil Amri (Penguasa) Hingga Jatuh Hati Padanya

Posted: 12 Maret 2011 in Sentuhan Kisah
Tag:, , , , , , , , ,
8
http://tausyah.wordpress.com/al-Muslimah
al-muslimah
Seorang gubernor pada zaman Khalifah Al-Mahdi, pada suatu hari mengumpulkan sejumlah tetangganya dan menaburkan uang dinar dihadapan mereka. Semuanya saling berebutan memunguti uang itu dengan suka cita. Kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek. Ia terlihat diam saja tidak bergerak, sambil memandangi para tetangganya yang sebenarnya lebih kaya dari dirinya, tetapi berbuat seolah-olah mereka orang-orang yang kekurangan harta.
Dengan keheranan sang Gubernor bertanya, “Mengapa engkau tidak ikut memunguti uang dinar itu seperti tetangga engkau?”
Janda bermuka buruk itu menjawab, “Sebab yang mereka cari uang dinar sebagai bekal dunia. Sedangkan yang saya butuhkan bukan dinar melainkan bekal akhirat.”
“Maksud engkau?” tanya sang Gubernor mulai tertarik akan kepribadian perempuan itu.”
Maksud saya, uang dunia sudah cukup. Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu salat, puasa dan zikir. Sebab perjalanan di dunia amat pendek dibanding dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan kekal.”
Dengan jawaban seperti itu, sang Gubernor merasa telah disindir tajam. Ia insaf, dirinya selama ini hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan melalaikan kewajiban agamanya. Padahal kekayaannya melimpah ruah, tak kan habis dimakan keluarganya sampai tujuh keturunan. Sedangkan umurnya sudah di atas setengah abad, dan Malaikat Izrail sudah mengintainya.
Akhirnya sang Gubernor jatuh cinta kepada perempua lusuh yang berparas hanya lebih bagus sedikit dari yang paling buruk itu. Kabar itu tersebar ke segenap pelosok negeri. Orang-orang besar tak habis pikir, bagaimana seorang gubernor bisa menaruh hati kepada perempuan jelata bertampang jelek itu.
Maka pada suatu kesempatan, diundanglah mereka oleh Gubernor dalam sebuah pesta mewah. Juga para tetangga, trmasuk wanita yang membuat heboh tadi. Kepada mereka diberikan gelas crystal yang bertahtakan permata, berisi cairan anggur segar. Gubernor lantas memerintah agar mereka membanting gelas masing-masing. Semuanya bingung dan tidak ada yang mau menuruti perintah itu. Namun, tiba-tiba trdengar bunyi berdenting, ternyata ada orang yang dianggap gila yang melaksanakan perintah itu. Itulah si perempuan berwajah buruk. Di kakinya pecahan gelas berhamburan sampai semua orang tampak terkejut dan keheranan.Gubernor lalu bertanya, “Mengapa kau banting gelas itu?”
Tanpa takut wanita itu menjawab, “Ada beberapa sebab. Pertama, dengan memecahkan gelas ini berarti berkurang kekayaan Tuan. Tetapi, menurut saya hal itu lebih baik daripada wibawa Tuan berkurnag lantaran perintah Tuan tidak dipatuhi.”
Gubernor terkesima. Para tamunya juga kagum akan jawaban yang masuk akal itu.
Sebab lainnya?” tanya Gubernor.Wanita itu menjawab, “Kedua, saya hanya menaati perintah Allah. Sebab di dalam Alquran, Allah memerintahkan agar kita mematuhi Allah, Utusan-Nya, dan para penguasa. Sedangkan Tuan adalah penguasa, atau ulil amri, maka dengan segala resikonya saya laksanakan perintah Tuan.”
Gubernor kian takjub. Demikian pula paran tamunya. “Masih ada sebab lain?”
Perempuan itu mengangguk dan berkata, “Ketiga, dengan saya memecahkan gelas itu, orang-orang akan menganggap saya gila. Namun, hal itu lebih baik buat saya. Biarlah saya dicap gila daripada tidak melakukan perintah Gubernornya, yang berarti saya sudah berbuat durhaka. Tuduhan saya gila, akan saya terima dengan lapang dada daripada saya dituduh durhaka kepada penguasa saya. Itu lebih berat buat saya.”Maka ketika kemudian Gubernor yang kematian istri itu melamar lalu menikahi perempuan bertampang jelek dan hitam legam itu, semua yang mendengar bahkan berbalik sangat gembira karena Gubernor memperoleh jodoh seorang wanita yang tidak saja taat kepada suami, tetapi juga taat kepada gubernornya, kepada Nabinya, dan kepada Tuhannya.

Sabtu, 18 Februari 2012

Sejatinya perjalanan hidup kita adalah laksana torehan tinta yang tertulis diatas lembaran demi lembaran kertas diatas sebuah buku, siapa dan bagaimana kita akan di kenal dan dikenang di masa depan. semuanya akan terlihat dari apa yg telah kita torehkan dalam tinta sejarah perjalan hidup kita.
 
By : Hamdani Firdaus

Jumat, 17 Februari 2012

CATATAN PERJUANGAN: Bagaimana Membentuk Kepribadian Islam

CATATAN PERJUANGAN: Bagaimana Membentuk Kepribadian Islam

Menelaah Ushul Fiqih Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani RahimahuLlah

February 16, 2012

 As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani –rahimahu-Llah— telah melakukan telaah historis yang sangat mendalam dalam kaitannya dengan sejarah usul fikih, peta pemikiran usul fikih mazhab-mazhab Islam klasik, pengaruh pemikiran kalam dan filsafat terhadap usul fikih, dan bagaimana seharusnya usul fikih sebagai kaidah berfikir tasyri’ itu dibangun. Semuanya itu telah beliau bahas dan tuangkan dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I, dalam  satu bab khusus, Ushul al-Fiqh. Maka, untuk melacak peta pemikiran usul fikih yang beliau tuangkan dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz III, mau atau tidak, kita harus melakukan kajian ulang terhadap hasil telaah historis yang telah beliau lakukan sebelumnya. Khususnya analisis historis tentang peta pemikiran ushul di atas. Dengan begitu, kita akan mempunyai gambaran yang utuh tentang pemikiran ushul fikih Hizbut Tahrir.
Harus diakui, bahwa as-Syâfi’i (w. 204 H) adalah orang yang menggariskan dasar-dasar istinbât dan mensistematikakannya dengan kaidah-kaidah umum secara menyeluruh (qâ’idah ‘âmmah kulliyyah), sehingga bisa disebut sebagai peletak dasar ilmu Ushûl al-Fiqh. Mengingat, para fukaha’ sebelum as-Syâfi’i telah berijtihad, tetapi tanpa panduan istinbât yang deskriptif. Sebaliknya mereka hanya mengandalkan pemahaman mereka terhadap makna syariah, jangkauan hukum dan tujuannya, serta apa yang diisyaratkan oleh nash-nash dan tujuan-tujuan (maqâshid)-nya. Karena kebiasaan mereka mempelajari syariah dan skill mereka yang tinggi di bidang bahasa Arab menyebabkan mereka bisa mengenal dengan mudah makna-maknanya, dan memahami tujuan serta maqâshid-nya. Dalam menggali hukum, mereka biasanya mengkompromikan berbagai nash, pemahaman dan maqâshid-nya, tanpa panduan deskriptif yang dibukukan di hadapan mereka.
Kitab as-Syafi’i di bidang ushul yang paling populer adalah ar-Risâlah. Selain itu juga ada kitab Ibthâl al-Istihsân, dan Jammâ’ al-Ilm. Bahkan di dalam kitab al-Umm sendiri berisi beberapa pembahasan tentang ushul. Misalnya, dikemukakannya beberapa kaidah kulliyyah ketika membahas beberapa hukum cabang.
Sesuatu yang luar biasa dalam ushul fikih as-Syâfi’i adalah, bahwa beliau telah melakukan pembahasan ushul secara juristik (tasyrî’i), bukan silogistik (manthiqî). As-Syâfi’i benar-benar telah menjauhkan sejauh-jauhnya ushul fikih dari metode silogistik, dan terikat sepenuhnya dengan metode juristik. Beliau tidak mengembangkan fantasi dan hipotesis teoritis, namun hanya menetapkan hal-hal yang realistik dan eksis. Maka, yang menjadi ciri khas ushul fikih as-Syâfi’i adalah, bahwa ushul fikih tersebut merupakan kaidah istinbât secara mutlak.
Terlepas dari metodologi tertentu, yang menjadi metodologi mazhabnya. Sebaliknya, ia cocok untuk seluruh metodologi, meski berbeda sekalipun. Ia merupakan paradigma untuk mengetahui pandangan yang sahih dan tidak, juga merupakan aturan yang menyeluruh yang harus diperhatikan ketika menggali hukum-hukum baru, sekalipun orang tersebut telah menyusun metodologinya sendiri untuk menimbang pandangan dan telah terikat dengan aturan global ketika melakukan istinbât. Ushul fikih as-Syâfi’i memang bukan hanya kaidah ijtihad bagi mazhabnya, sekalipun mazhabnya harus terikat dengannya. Ia juga tidak berisi pembelaan terhadap mazhabnya dan penjelasan tentang pandangannya. Namun, ia merupakan kaidah istinbât umum dan menyeluruh. Hal yang menjadi pendorongnya juga bukan tendensi sektarian (kemazhaban), melainkan keinginan untuk menggariskan teknik berijtihad, serta menyusun ketentuan dan deskripsi bagi para mujtahid.
Lurusnya maksud dan kesahihan pemahaman beliau dalam menyusun ilmu ushul fikih itu telah mempengaruhi para mujtahid dan ulama’ pasca as-Syâfi’i, baik yang menentang maupun yang mendukung pandangan-pandangannya. Sampai mereka semuanya –dengan beragam tendensinya– memandang perlu untuk menempuh jalan yang telah dilalui oleh as-Syâfi’i, baik dalam menyusun kaidah global (al-qawâ’id al-kulliyyah) maupun langkah di bidang fikih dan istinbât berdasarkan kaidah kulliyah dan ‘âmmah tersebut. Maka, pasca beliau, fikih telah dibangun berdasarkan kerangka ushul yang tetap, bukan sebagai kelompok fatwa dan keputusan, sebagaimana kondisi sebelumnya.
Hanya saja, sekalipun semua ulama’ tersebut menapaktilasi apa yang ditinggalkan as-Syâfi’i, dari aspek pemikiran ushul fikih, namun penerimaan mereka terhadap apa yang telah dihasilkan oleh as-Syâfi’i tetap berbeda, sesuai dengan perbedaan orientasi fikih mereka. Di antara mereka ada yang mengikuti pandangan beliau, mensyarah, memperluas dan berdasarkan metodologinya berhasil menelorkan kaidah baru. Ini seperti yang dilakukan oleh para pengikut as-Syâfi’i sendiri. Ada yang telah mengambil mayoritas yang dikemukakan oleh as-Syâfi’i, sekalipun ada perbedaan dalam beberapa derivat ushulnya, namun secara akumulatif tidak berbeda. Sebab, secara akumulatif, sistematika dan langkahnya tidak berbeda dengan ushul as-Syâfi’i. Ini seperti para pengikut Hanafi, dan orang yang telah menempuh langkah berdasarkan metodologinya. Ada yang berbeda dengan as-Syâfi’i dalam ushul fikih ini, seperti para pengikut Zhâhiri dan Syî’ah.
Inilah sejarah ushul fikih, peta pemikirannya, kaitan satu dengan yang lain, serta perbedaan masing-masing. Sayangnya, perkembangan ushul fikih pasca generasi imam mujtahid tersebut tidak diikuti dengan perkembangan ijtihad. Tidak berkembangnya ijtihad tersebut sebenarnya karena mandulnya ushul fikih sebagai kaidah ijtihad. Itu tak lain, karena ushul fikih ketika itu telah dipenuhi perdebatan kalam dan filsafat, seperti hasan-qabih (terpuji-tercela), dan syukr al-mun’im (menyukuri Dzat Pemberi nikmat). Akibatnya, ushul fikih telah kehilangan substansinya sebagai kaidah ijtihad. Puncaknya, terjadinya penutupan pintu ijtihad pada pertengahan abad ke-4 H/10 M.

KRITIK DAN RUMUSAN USHUL FIKIH

Berdasarkan analisis kritis yang dikemukakan di atas, apa yang diinginkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz III adalah membuat rumusan ushul fikih yang bukan untuk kepentingan mazhab tertentu, sebagaimana yang telah dilakukan oleh as-Syafi’i dengan ar-Risalah, Ibthal al-Istihsan, Jamaa’ al-’Ilm dan al-Umm-nya. Karena, Hizbut Tahrir yang mengusung pemikiran ushul fikih tersebut bukanlah mazhab, dan tidak bertujuan untuk mendirikan mazhab tertentu. Khilafah yang ingin dibangun oleh Hizbut Tahrir juga bukan negara mazhab. Karena itu, ushul fikih yang diusung oleh Hizbut Tahrir ini justru didedikasikan untuk semua mazhab, dan kelak bisa menjadi pegangan bagi khalifah dalam berijtihad untuk merumuskan kebijakannya.
Sebagaimana ushul fikih yang dirumuskan oleh as-Syafi’i, pendekatan yang digunakan di dalam ushul fikih ini juga sama, yaitu metode tasyri’i (juristik), dan bukan manthiqi (silogistik). Semua yang dituangkan dalam ushul fikih ini pun merupakan perkara yang disepakati oleh kalangan ulama’ ushul sebagai syar’i, sehingga produknya pun bisa dipastikan syar’i. Selain itu, substansi ushul fikih sebagai kaidah berfikir tasyri’i berhasil ditampilkan, dimana berbagai perdebatan kalam dan filsafat yang bertele-tela dan melelahkan telah dibuang.  Sehingga siapapun yang menelaahnya akan menemukan sebuah kaidah berfikir tasyri’i yang dia butuhkan untuk membangun pemikiran hukum.
Silahkan unduh rekaman kajian disini:

Rabu, 15 Februari 2012

Detik detik kematian Kamal Attaturk


Berikut penuturan syekh Dr. Abdullah ‘Azzam dalam buku yakni ‘Al Manaratul Mafqudah’ (Majalah al Jihad, Pakistan, 1987) detik detik menjelang ajal sang hina mustafa kamal attaturk

Mustafa Kamal terserang penyakit dalam (sirrosis hepatitis) disebabkan alkohol yang terkandung dalam khamr. Cairan berkumpul di perutnya secara kronis. Ingatannya melemah, darah mulai mengalir dari hidungnya tanpa henti. Dia juga terserang penyakit kelamin (GO), akibat amat sering berbuat maksiat. Untuk mengeluarkan cairan yang berkumpul pada bagian dalam perutnya (Ascites), dokter mencoblos perutnya dengan jarum. Perutnya membusung dan kedua kakinya bengkak. Mukanya mengecil. Darahnya berkurang sehingga Mustafa pucat seputih tulang.”


Selama sakit Mustafa berteriak-teriak sedemikian keras sehingga teriakannya menerobos sampai ke teras istana yang ditempatinya. Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit. Beratnya hanya 48 kilogram. Giginya banyak yang tanggal hingga mulutnya hampir bertemu dengan kedua alis matanya. Badannya menderita demam yang sangat sehingga ia tidak bisa tidur. Tubuhnya juga mengeluarkan bau bagaikan bau bangkai. Walau demikian, Mustafa masih saja berwasiat, jika dia meninggal maka jenazahnya tidak perlu dishalati.

“Pada hari Kamis, 10 November 1938 jam sembilan lebih lima menit pagi, pergilah Mustafa Kamal dari alam dunia dalam keadaan dilaknat di langit dan di bumi…,” tulis Abdullah ‘Azzam. Naudzubilahi min dzalik!

ZILZAAL: Akhir Hidup Mirza Ghulam Ahmad Sang Nabi Palsu

ZILZAAL: Akhir Hidup Mirza Ghulam Ahmad Sang Nabi Palsu

Minggu, 12 Februari 2012

Kemerdekaan jiwa yang hakiki dari setiap belenggu kegelisahan, adalah saat dirimu telah terlepas dari ketergantungan terhadap apa-apa yang sangat kau cintai dan senagi. Sementara kemerdekaan semu buat jiwamu dari setiap belenggu kegelisahan, adalah ketika dalam dirimu masih ada harapan yang teramat besar untuk sesuatu hal yang sangat kau cintai serta senangi.

By : Hamdani Firdaus Al Minangkabauwi