Rabu, 23 Mei 2012

Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah


Kita seringkali merasakan kebingungan sebagai seorang muslim ketika berhadapan dengan peradaban Barat. Di satu sisi kita dituntut untuk meninggikan Islam, tetapi di sisi lain kita tidak terlepas dari berbagai realitas (fakta) yang bersumber dari Barat, yang notabene sangat memusuhi Islam. Kemudian muncullah berbagai macam asumsi dan berbagai macam pandangan di kalangan umat Islam, misalnya “Katanya menolak Barat, tapi kok pakai teknologi dari Barat?”, “Katanya segala sesuatu yang baru itu bid’ah, tapi kok pakai barang-barang yang ditemukan orang kafir?”. Jika kita tidak berhati-hati dalam masalah ini, tentu kita akan terjebak dalam dualisme pemahaman yang bertolak belakang. Pertanyaannya: Apakah semua hal yang berkaitan dengan Barat harus ditolak? Jika tidak, mana hal-hal yang harus ditolak dan boleh untuk diambil?

Di kala begitu banyak orang mengalami kebingungan untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas dan yang sejenisnya, ada sebuah kajian menarik dari Syaikh Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kitabnya Nizhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani membedakan antara hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan mafahim (pemahaman, bisa juga pandangan hidup) yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah memiliki sifat khas. Sedangkan madaniyah adalah berkaitan benda-benda hasil teknologi atau hasil peradaban suatu umat tertentu.

Seluruh hadharah yang berasal dari selain Islam hukumnya haram untuk diambil. Mengapa demikian? Sebab ada perbedaan mendasar dari hadharah Islam dan hadharah selain Islam. Hadharah Islam bisa diambil, sebab berpijak dari Alquran dan Sunnah. Sedangkan hadharah Barat, berangat dari selain Alquran dan Sunah. Artinya, hadharah selain Islam bisa berangkat dari pemikiran manusia yang berangkat dari akal semata, yang jelas tidak dari Alquran dan Sunah.

Banyak orang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah hadharah Islam, sebab juga ‘diambil’ dari Alquran dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa Islam menghalalkan musyawarah, maka demokrasi pun halal. Pernyataan ini jelas sangat ngawur dan serampangan. Kelihatan sekali, orang yang menyatakannya tidak melihat realitas (fakta) demokrasi dan musyawarah secara menyeluruh, alias setengah-setengah. Mereka mengokohkan pendapat mereka dengan QS. Asy Syura: 37-38. Dalam ayat tersebut terdapat penggalan ayat: Wa amruhum syuuraa bainahum (sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka). Syura yang dimaksud di sini disamakan dengan demokrasi.

Jika ditelusur, demokrasi (kadang-kadang) memang menggunakan musyawarah. Tetapi harus dilihat, asas demokrasi adalah sekulerisme. Inilah yang menjadi permasalahannya. Artinya, asas ‘musyawarah’ demokrasi memang sekuler. Jadi untuk menentukan halal atau haram, dilakukan atau tidak, diputuskan atau tidak, semuanya berdasarkan hawa nafsu manusia, bukan Alquran dan Sunnah. Ini jelas tidak benar. Sebab, yang menentukan halal-haram, diputuskan atau tidak sebuah kebijakan, tetap semua berangkat dari Alquran dan Sunnah, bukan dari akal manusia. Jadi, demokrasi bukanlah hadharah Islam, tetapi memang hadharah Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Sebab, asas musyawarah adalah pada Alquran dan Sunnah, bukan kehendak manusia sendiri.

Satu contoh Indonesia. Untuk menentukan apakah riba itu halal atau haram, jelas tidak bisa dilakukan dengan musyawarah. Tetapi dengan dalil-dalil syariah yang berasal dari Alquran dan Sunnah. Tetapi di Indonesia, boleh tidaknya riba ditentukan berdasarkan musyawarah parlemen. Ini jelas tidak benar. Allah telah menegaskan: wa ahalallaahul bai’a wa harramar ribaa (dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba). Demikian juga sabda Rasulullah: Ar ribaa tsalaatsatun wa sab’uuna baaban, aisaruhaa mitslu an yankiha rajulu ummahu (Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang yang mengawini ibunya), hadis riwayat Hakim dan Baihaqi.

Kemudian, untuk menentukan apakah Freeport dan Exxon Mobile Oil boleh mengelola kekayaan alam di Indonesia atau tidak, ternyata selama ini ditentukan oleh kebijakan penguasa (eksekutif) dan disetujui parlemen. Ini tidak benar. Sebab menurut hukum Islam, yang namanya kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak memang milik umum, bukan milik pemerintah (negara) sehingga negara bisa dengan seenaknya jual sana jual sini.

Padahal Rasulullah bersabda: Al muslimuuna syurakaa u fii tsalaatsatin, fil maa i, wal kala i, wannaari (kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air padang rumput dan api), hadis riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah. ‘Illat kepemilikan umum tersebut adalah sesuatu yang besar (sesuatu yang bersifat bagaikan air mengalir). Berdasarkan hadis ini, sumber daya energi termasuk dalam kepemilikan umum karena dua aspek: yaitu termasuk dalam kata ‘api’ serta ‘tersedia dalam jumlah yang besar. Karena milik umum, maka negara tidak memiliki hak apa pun untuk mengambilnya, apalagi pihak asing. Justru karena dikelola pihak asing itulah kemudian kekayaan alam di negeri ini tidak pernah dirasakan oleh rakyat.

Sedangkan yang kedua, adalah madaniyah. Madaniyah ada dua jenis, yaitu yang bersifat umum dan yang bersifat khas. Yang bersifat umum seperti hasil kemajuan teknologi, hukumnya boleh untuk diambil, sebab tidak mengandung pandangan hidup tertentu yang berlawanan dengan Alquran dan Sunnah. Sebagai contoh komputer. Komputer memang dihasilkan oleh teknologi Barat. Akan tetapi mengambilnya, diperbolehkan. Sebab komputer tidak mengandung pemahaman atau pandangan hidup tertentu. Adakah Anda menemukan komputer memiliki pandangan hidup tertentu? Demikian pula mobil, kendaraan, dan handphone. Adakah Anda menemukan pandangan hidup tertentu di dalam benda-benda tersebut?

Hal ini pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat ketika mengambil hasil teknologi dan hasil budaya orang-orang kafir, sebab tidak mengandung pandangan hidup tertentu. Rasulullah pernah menggunakan senjata Dababah dan Manjaniq buatan orang kafir. Dababah adalah sebuah alat tempur yang memiliki moncong berupa kayu besar yang digunakan untuk menggempur pintu benteng musuh. Rasulullah saw. juga pernah menggunakan senjata Manjaniq dalam Perang Khaibar ketika menggempur benteng An Nizar milik Yahudi Bani Khaibar. Manjaniq adalah sebuah ketapel raksasa yang biasa digunakan oleh orang Romawi dalam menggempur lawan.

Demikian pula Rasulullah pernah membuat parit di sekitar kota Madinah dalam Perang Khandaq. Salman Al Farisi, sahabat Rasulullah saw. yang berasal dari Parsi mengusulkan agar di sekeliling kota Madinat digali parit sebagaimana dulu dia pernah membuatnya bersama orang-orang Parsi. Umar bin Khathab, juga pernah mengadopsi berbagai sistem administrasi orang-orang Romawi dan Parsi untuk mengurus sistem administrasi daulah Islamiyah. Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa hasil peradaban umat selain umat Islam halal untuk diambil selama tidak mengandung pemahaman dan pandangan hidup tertentu.

Sedangkan madaniyah yang bersifat khas tidak boleh diambil. Maksudnya bagaimana? Yaitu hasil peradaban selain Islam yang mengandung pandangan hidup tertentu. Contohnya adalah benda salib. Kaum muslimi tidak boleh mengambilnya atau memakainya dalam keadaan apa pun, sebab memiliki pandangan hidup tertentu. Contoh lain adalah candi dan patung dewa-dewa. Kita tidak diperkenankan untuk mengambil patung-patung dewa Yunani atau Hindu. Sebab hal itu mengandung pandangan hidup tertentu.

Kadang-kadang benda-benda tersebut juga ada di rumah kita tetapi bukan kita yang meletakkan. Mungkin orang tua kita atau yang lainnya. Jika demikian, hendaknya kita mengingatkan dengan baik-baik, jika tidak mau, itu bukan urusan kita. Itu pilihan orang tua kita atau orang lain yang meletakkan benda itu di rumah kita. Kita hanya wajib untuk mengingkarinya, usahakan dengan lisan, jika tidak mampu, tentu dengan hati.

Ada satu lagi pembahasan yang seringkali membuat orang terjebak, apakah ini disebut bid’ah atau bukan. Dalam Kamus Al Munawir, bid’ah berarti menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan dalam kitab Lisanul Arab disebutkan bahwa arti bid’ah adalah setiap hal baru yang diada-adakan.

Sedangkan menurut beberapa ulama, penjelasan tentang bid’ah adalah sebagai berikut.
1. Dalam kitab Mughni Al Muhtaj, Imam Asy Syarbini menyatakan bahwa menurut Imam Syafi’i yang dimaksud dengan al muhdatsah atau sesuatu yang baru dan diada-adakan yang menyalahi Alquran, Sunnah, dan Ijma sahabat, maka termasuk bid’ah yang sesat.

2. Imam Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: bid’ah adalah perbuatan yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw.

3. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dan Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan bahwa bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan, yang tidak mempunyai dasar syar’i yang ditunjukkan dalam syariat, sedangkan yang mempunyai dasar syar’I tidak termasuk bid’ah.

4. Ibnu Taimiyah menyatakan: bid’ah adalah apa-apa yang menyalahi syariat.

5. Imam Asy Syathibi dalam kitab Al I’tisham menyatakan: bid’ah adalah thariqah (tata cara) dalam agama yang dibuat-buat dan sebelumnya belum ada, yang bertentangan dengan syariat, yang atas dasar bid’ah itu, pelakunya berperilaku dan beribadah secara maksimal kepada Allah swt.

Dari berbagai pemahaman ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah setiap perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat, yaitu setiap perbuatan yang menyalahi syariat. Perbuatan semacam ini termasuk dalam sabda Rasulullah saw.: Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun (Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ketentuannya dalam agama kami adalah tertolak), hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

Hanya saja tidak semua perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat atau tidak ada pada masa Rasulullah saw. pasti bid’ah. Terdapat banyak sekali perbuatan-perbuatan yang sebenarnya didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat umum. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai bid’ah. Misalnya belajar matematika, belajar IPA, mempelajari nuklir, mempelajari sel-sel makhluk hidup dan tumbuhan, dan sebagainya. Semua perbuatan-perbuatan ini berangkat dari dalil-dalil yang sifatnya umum, yaitu dalil menuntut ilmu.

Demikian pula, pergi rekreasi, menetapkan mahar berupa seperangkat alat salat, cincin, atau Alquran, membangun tempat azan, menyalakan listrik di dalam masjid, memakai pengeras suara ketika azan dan iqamat, dan sebagainya juga bukan merupakan bid’ah.

Semua perbuatan di atas memang tidak dijelaskan secara detail dan terinci, baik pada masa Rasul maupun pada masa sahabat. Tetapi semuanya mencakup dalil-dalil yang sifatnya umum. Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: Sesuatu yang diada-adakan, yang mempunyai asal (pokok) dalam syariat yang menunjukkannya tidaklah termasuk bid’ah.

Jadi, bid;ah adalah perbuatan yang menyalahi syariat. Ini tidak berlaku untuk semua jenis perbuatan, tetapi hanya berlaku pada perbuatan yang telah ditentukan tata cara (kaifiyah) pelaksanaannya oleh syariat.

Sebenarnya, syariat tidak membatasi tata cara (kaifiyah) pelaksanaan perbuatan kecuali dalam masalah ibadah (di luar jihad). Selain dalam masalah ibadah, syariat tidak membatasi tata cara, melainkan hanya menentukan tata cara pengelolaannya (tasharruf). Menyalahi tasharruf yang telah ditentukan syariat, tidak disebut bid’ah, tetapi bisa haram atau makruh dan sebagainya sesuai dalil penunjukan larangannya.

Mendirikan Perseroan Terbatas (PT) atau perusahaan saham, tidak termasuk kategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram. Memerangi orang kafir yang belum tersentuh dakwah Islam, bukan bid’ah, tetapi hukumnya tidak boleh. Melukis wanita telanjang, tidak termasuk bid’ah tetapi hukumnya juga tetap tidak boleh. Menganut demokrasi, tidak terkategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram.

Lain halnya dengan ibadah mahdhah. Azan adalah ibadah. Tata caranya telah ditentukan oleh syariat. Manambah satu kata atau kalimat di dalam azan, termasuk bid’ah. Salat subuh itu dua rekaat. Menambah satu rekaat dengan alasan cinta kepada Allah, termasuk bid’ah. Berdoa itu adalah ibadah. Ada dalil yang menyatakan bahwa berdoa itu dengan mengangkat tangan. Ini adalah tata cara spesifik (kaifiyah makhshushah) dalam berdoa. Oleh karena itu, siapa saja yang menyalahinya, misal berdoa dengan mengepalkan tangan atau dengan tangan di pinggang, jelas ini adalah bid’ah. Haram melakukannya.

Berangkat dari hal di atas, kemudian ada orang yang secara serampangan menyatakan “Bukankah keberadaan konsep hadharah dan madaniyah itu sendiri juga baru? Jadi konsep yang digagas Taqiyuddin An Nabhani itu juga bid’ah.”

Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya orang yang menyatakan bahwa hadharah dan madaniyah telah salah dalam memahami fakta. Memang benar, pada masa rasul konsep hadharah dan madaniyah memang belum ada, sebab baru dirumuskan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pada tahun 1950-an. Tetapi perlu kita sadari bersama, bahwa pada masa dulu ilmu-ilmu Islam yang lain juga belum ada. Belum ada ilmu fiqh dan ushul fiqh, belum ada ilmu hadis dan ushul hadis, belum ada ilmu siyasah syar’iyyah dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal-hal baru yang muncul, pada masa dulu para sahabat tidak perlu bingung-bingung dengan konsep hadharah dan madaniyah. Mengapa? Sebab pada masa mereka Rasulullah saw. masih ada. Sehingga jika mereka menemukan hal-hal yang baru, mereka akan langsung menanyakannya kepada Rasulullah.

Atau pada masa tabi’in dan sahabat sepeninggal Rasulullah. Pada masa dulu, jika tabi’in menemukan satu hal yang baru dan tidak bisa memecahkan permasalahannya, maka mereka akan bertanya kepada sahabat yang masih hidup. Begitu seterusnya. Hingga pada masa kontemporer, ketika orang mengalami kebingungan dalam memilih dan memilah, mana yang harus diambil dari peradaban orang-orang Barat, maka Syaikh Taqiyuddin pun segera melakukan ijtihad, dan dihasilkanlah sebuah konsep yaitu hadharah dan madaniyah. Hadharah yang wajib diambil hanyalah hadharah Islam, dan hadharah selain Islam wajib ditolak. Sedangkan madaniyah juga harus dilihat dengan seksama, jika bersifat umum maka boleh diambil, jika bersifat khas, maka tidak boleh diambil. Demikianlah..

Jadi, jika kita mau berpikir objektif, tidak perlu melihat siapa yang menyampaikan. Mari kita melihat, apa yang disampaikan. Jika apa yag disampaikan memang benar dan memiliki hujjah yang kuat, mengapa tidak kita ambil? Jika kita memiliki pendapat A, dan kemudian datang pendapat B dengan hujjah yang lebih kuat, mengapa kita masih mempertahankan yang A padahal ada hujjah yang lebih kuat, yaitu pendapat B? Sepertinya, setiap orang perlu jujur kepada diri sendiri. Tidak penting, orang itu berasal dari gerakan Islam mana. Jika memang lebih kuat, tentu harus diambil dan menyepakati pendapat yang lebih kuat tersebut dan membenarkannya.

Kita semua perlu mengakui kebenaran kata-kata Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, “Kewajiban yang kita miliki, lebih banyak daripada waktu yang tersedia.” Walaupun saya tidak menjadi pengikut beliau di gerakan Ikhwanul Muslimin, tetapi saya mengakui betul bahwa kata-kata tersebut memang benar, dan sangat benar. Mengapa? Sebab, realitasnya memang demikian. Kewajiban umat Islam memang sangat banyak (terlepas dari qadhiyah mashiriyahnya), sedangkan waktu yang ada sangat sedikit.

Oleh karena itu, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang memegang teguh prinsip kebenaran. Melihat kebenaran dari kebenaran itu sendiri, bukan dari orang atau yang lainnya.


Kita seringkali merasakan kebingungan sebagai seorang muslim ketika berhadapan dengan peradaban Barat. Di satu sisi kita dituntut untuk meninggikan Islam, tetapi di sisi lain kita tidak terlepas dari berbagai realitas (fakta) yang bersumber dari Barat, yang notabene sangat memusuhi Islam. Kemudian muncullah berbagai macam asumsi dan berbagai macam pandangan di kalangan umat Islam, misalnya “Katanya menolak Barat, tapi kok pakai teknologi dari Barat?”, “Katanya segala sesuatu yang baru itu bid’ah, tapi kok pakai barang-barang yang ditemukan orang kafir?”. Jika kita tidak berhati-hati dalam masalah ini, tentu kita akan terjebak dalam dualisme pemahaman yang bertolak belakang. Pertanyaannya: Apakah semua hal yang berkaitan dengan Barat harus ditolak? Jika tidak, mana hal-hal yang harus ditolak dan boleh untuk diambil?

Di kala begitu banyak orang mengalami kebingungan untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas dan yang sejenisnya, ada sebuah kajian menarik dari Syaikh Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kitabnya Nizhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani membedakan antara hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan mafahim (pemahaman, bisa juga pandangan hidup) yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah memiliki sifat khas. Sedangkan madaniyah adalah berkaitan benda-benda hasil teknologi atau hasil peradaban suatu umat tertentu.

Seluruh hadharah yang berasal dari selain Islam hukumnya haram untuk diambil. Mengapa demikian? Sebab ada perbedaan mendasar dari hadharah Islam dan hadharah selain Islam. Hadharah Islam bisa diambil, sebab berpijak dari Alquran dan Sunnah. Sedangkan hadharah Barat, berangat dari selain Alquran dan Sunah. Artinya, hadharah selain Islam bisa berangkat dari pemikiran manusia yang berangkat dari akal semata, yang jelas tidak dari Alquran dan Sunah.

Banyak orang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah hadharah Islam, sebab juga ‘diambil’ dari Alquran dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa Islam menghalalkan musyawarah, maka demokrasi pun halal. Pernyataan ini jelas sangat ngawur dan serampangan. Kelihatan sekali, orang yang menyatakannya tidak melihat realitas (fakta) demokrasi dan musyawarah secara menyeluruh, alias setengah-setengah. Mereka mengokohkan pendapat mereka dengan QS. Asy Syura: 37-38. Dalam ayat tersebut terdapat penggalan ayat: Wa amruhum syuuraa bainahum (sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka). Syura yang dimaksud di sini disamakan dengan demokrasi.

Jika ditelusur, demokrasi (kadang-kadang) memang menggunakan musyawarah. Tetapi harus dilihat, asas demokrasi adalah sekulerisme. Inilah yang menjadi permasalahannya. Artinya, asas ‘musyawarah’ demokrasi memang sekuler. Jadi untuk menentukan halal atau haram, dilakukan atau tidak, diputuskan atau tidak, semuanya berdasarkan hawa nafsu manusia, bukan Alquran dan Sunnah. Ini jelas tidak benar. Sebab, yang menentukan halal-haram, diputuskan atau tidak sebuah kebijakan, tetap semua berangkat dari Alquran dan Sunnah, bukan dari akal manusia. Jadi, demokrasi bukanlah hadharah Islam, tetapi memang hadharah Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Sebab, asas musyawarah adalah pada Alquran dan Sunnah, bukan kehendak manusia sendiri.

Satu contoh Indonesia. Untuk menentukan apakah riba itu halal atau haram, jelas tidak bisa dilakukan dengan musyawarah. Tetapi dengan dalil-dalil syariah yang berasal dari Alquran dan Sunnah. Tetapi di Indonesia, boleh tidaknya riba ditentukan berdasarkan musyawarah parlemen. Ini jelas tidak benar. Allah telah menegaskan: wa ahalallaahul bai’a wa harramar ribaa (dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba). Demikian juga sabda Rasulullah: Ar ribaa tsalaatsatun wa sab’uuna baaban, aisaruhaa mitslu an yankiha rajulu ummahu (Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang yang mengawini ibunya), hadis riwayat Hakim dan Baihaqi.

Kemudian, untuk menentukan apakah Freeport dan Exxon Mobile Oil boleh mengelola kekayaan alam di Indonesia atau tidak, ternyata selama ini ditentukan oleh kebijakan penguasa (eksekutif) dan disetujui parlemen. Ini tidak benar. Sebab menurut hukum Islam, yang namanya kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak memang milik umum, bukan milik pemerintah (negara) sehingga negara bisa dengan seenaknya jual sana jual sini.

Padahal Rasulullah bersabda: Al muslimuuna syurakaa u fii tsalaatsatin, fil maa i, wal kala i, wannaari (kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air padang rumput dan api), hadis riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah. ‘Illat kepemilikan umum tersebut adalah sesuatu yang besar (sesuatu yang bersifat bagaikan air mengalir). Berdasarkan hadis ini, sumber daya energi termasuk dalam kepemilikan umum karena dua aspek: yaitu termasuk dalam kata ‘api’ serta ‘tersedia dalam jumlah yang besar. Karena milik umum, maka negara tidak memiliki hak apa pun untuk mengambilnya, apalagi pihak asing. Justru karena dikelola pihak asing itulah kemudian kekayaan alam di negeri ini tidak pernah dirasakan oleh rakyat.

Sedangkan yang kedua, adalah madaniyah. Madaniyah ada dua jenis, yaitu yang bersifat umum dan yang bersifat khas. Yang bersifat umum seperti hasil kemajuan teknologi, hukumnya boleh untuk diambil, sebab tidak mengandung pandangan hidup tertentu yang berlawanan dengan Alquran dan Sunnah. Sebagai contoh komputer. Komputer memang dihasilkan oleh teknologi Barat. Akan tetapi mengambilnya, diperbolehkan. Sebab komputer tidak mengandung pemahaman atau pandangan hidup tertentu. Adakah Anda menemukan komputer memiliki pandangan hidup tertentu? Demikian pula mobil, kendaraan, dan handphone. Adakah Anda menemukan pandangan hidup tertentu di dalam benda-benda tersebut?

Hal ini pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat ketika mengambil hasil teknologi dan hasil budaya orang-orang kafir, sebab tidak mengandung pandangan hidup tertentu. Rasulullah pernah menggunakan senjata Dababah dan Manjaniq buatan orang kafir. Dababah adalah sebuah alat tempur yang memiliki moncong berupa kayu besar yang digunakan untuk menggempur pintu benteng musuh. Rasulullah saw. juga pernah menggunakan senjata Manjaniq dalam Perang Khaibar ketika menggempur benteng An Nizar milik Yahudi Bani Khaibar. Manjaniq adalah sebuah ketapel raksasa yang biasa digunakan oleh orang Romawi dalam menggempur lawan.

Demikian pula Rasulullah pernah membuat parit di sekitar kota Madinah dalam Perang Khandaq. Salman Al Farisi, sahabat Rasulullah saw. yang berasal dari Parsi mengusulkan agar di sekeliling kota Madinat digali parit sebagaimana dulu dia pernah membuatnya bersama orang-orang Parsi. Umar bin Khathab, juga pernah mengadopsi berbagai sistem administrasi orang-orang Romawi dan Parsi untuk mengurus sistem administrasi daulah Islamiyah. Berbagai fakta di atas menunjukkan bahwa hasil peradaban umat selain umat Islam halal untuk diambil selama tidak mengandung pemahaman dan pandangan hidup tertentu.

Sedangkan madaniyah yang bersifat khas tidak boleh diambil. Maksudnya bagaimana? Yaitu hasil peradaban selain Islam yang mengandung pandangan hidup tertentu. Contohnya adalah benda salib. Kaum muslimi tidak boleh mengambilnya atau memakainya dalam keadaan apa pun, sebab memiliki pandangan hidup tertentu. Contoh lain adalah candi dan patung dewa-dewa. Kita tidak diperkenankan untuk mengambil patung-patung dewa Yunani atau Hindu. Sebab hal itu mengandung pandangan hidup tertentu.

Kadang-kadang benda-benda tersebut juga ada di rumah kita tetapi bukan kita yang meletakkan. Mungkin orang tua kita atau yang lainnya. Jika demikian, hendaknya kita mengingatkan dengan baik-baik, jika tidak mau, itu bukan urusan kita. Itu pilihan orang tua kita atau orang lain yang meletakkan benda itu di rumah kita. Kita hanya wajib untuk mengingkarinya, usahakan dengan lisan, jika tidak mampu, tentu dengan hati.

Ada satu lagi pembahasan yang seringkali membuat orang terjebak, apakah ini disebut bid’ah atau bukan. Dalam Kamus Al Munawir, bid’ah berarti menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan dalam kitab Lisanul Arab disebutkan bahwa arti bid’ah adalah setiap hal baru yang diada-adakan.

Sedangkan menurut beberapa ulama, penjelasan tentang bid’ah adalah sebagai berikut.
1. Dalam kitab Mughni Al Muhtaj, Imam Asy Syarbini menyatakan bahwa menurut Imam Syafi’i yang dimaksud dengan al muhdatsah atau sesuatu yang baru dan diada-adakan yang menyalahi Alquran, Sunnah, dan Ijma sahabat, maka termasuk bid’ah yang sesat.

2. Imam Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: bid’ah adalah perbuatan yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw.

3. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dan Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan bahwa bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan, yang tidak mempunyai dasar syar’i yang ditunjukkan dalam syariat, sedangkan yang mempunyai dasar syar’I tidak termasuk bid’ah.

4. Ibnu Taimiyah menyatakan: bid’ah adalah apa-apa yang menyalahi syariat.

5. Imam Asy Syathibi dalam kitab Al I’tisham menyatakan: bid’ah adalah thariqah (tata cara) dalam agama yang dibuat-buat dan sebelumnya belum ada, yang bertentangan dengan syariat, yang atas dasar bid’ah itu, pelakunya berperilaku dan beribadah secara maksimal kepada Allah swt.

Dari berbagai pemahaman ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah setiap perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat, yaitu setiap perbuatan yang menyalahi syariat. Perbuatan semacam ini termasuk dalam sabda Rasulullah saw.: Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun (Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ketentuannya dalam agama kami adalah tertolak), hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

Hanya saja tidak semua perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat atau tidak ada pada masa Rasulullah saw. pasti bid’ah. Terdapat banyak sekali perbuatan-perbuatan yang sebenarnya didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat umum. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai bid’ah. Misalnya belajar matematika, belajar IPA, mempelajari nuklir, mempelajari sel-sel makhluk hidup dan tumbuhan, dan sebagainya. Semua perbuatan-perbuatan ini berangkat dari dalil-dalil yang sifatnya umum, yaitu dalil menuntut ilmu.

Demikian pula, pergi rekreasi, menetapkan mahar berupa seperangkat alat salat, cincin, atau Alquran, membangun tempat azan, menyalakan listrik di dalam masjid, memakai pengeras suara ketika azan dan iqamat, dan sebagainya juga bukan merupakan bid’ah.

Semua perbuatan di atas memang tidak dijelaskan secara detail dan terinci, baik pada masa Rasul maupun pada masa sahabat. Tetapi semuanya mencakup dalil-dalil yang sifatnya umum. Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: Sesuatu yang diada-adakan, yang mempunyai asal (pokok) dalam syariat yang menunjukkannya tidaklah termasuk bid’ah.

Jadi, bid;ah adalah perbuatan yang menyalahi syariat. Ini tidak berlaku untuk semua jenis perbuatan, tetapi hanya berlaku pada perbuatan yang telah ditentukan tata cara (kaifiyah) pelaksanaannya oleh syariat.

Sebenarnya, syariat tidak membatasi tata cara (kaifiyah) pelaksanaan perbuatan kecuali dalam masalah ibadah (di luar jihad). Selain dalam masalah ibadah, syariat tidak membatasi tata cara, melainkan hanya menentukan tata cara pengelolaannya (tasharruf). Menyalahi tasharruf yang telah ditentukan syariat, tidak disebut bid’ah, tetapi bisa haram atau makruh dan sebagainya sesuai dalil penunjukan larangannya.

Mendirikan Perseroan Terbatas (PT) atau perusahaan saham, tidak termasuk kategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram. Memerangi orang kafir yang belum tersentuh dakwah Islam, bukan bid’ah, tetapi hukumnya tidak boleh. Melukis wanita telanjang, tidak termasuk bid’ah tetapi hukumnya juga tetap tidak boleh. Menganut demokrasi, tidak terkategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram.

Lain halnya dengan ibadah mahdhah. Azan adalah ibadah. Tata caranya telah ditentukan oleh syariat. Manambah satu kata atau kalimat di dalam azan, termasuk bid’ah. Salat subuh itu dua rekaat. Menambah satu rekaat dengan alasan cinta kepada Allah, termasuk bid’ah. Berdoa itu adalah ibadah. Ada dalil yang menyatakan bahwa berdoa itu dengan mengangkat tangan. Ini adalah tata cara spesifik (kaifiyah makhshushah) dalam berdoa. Oleh karena itu, siapa saja yang menyalahinya, misal berdoa dengan mengepalkan tangan atau dengan tangan di pinggang, jelas ini adalah bid’ah. Haram melakukannya.

Berangkat dari hal di atas, kemudian ada orang yang secara serampangan menyatakan “Bukankah keberadaan konsep hadharah dan madaniyah itu sendiri juga baru? Jadi konsep yang digagas Taqiyuddin An Nabhani itu juga bid’ah.”

Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya orang yang menyatakan bahwa hadharah dan madaniyah telah salah dalam memahami fakta. Memang benar, pada masa rasul konsep hadharah dan madaniyah memang belum ada, sebab baru dirumuskan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pada tahun 1950-an. Tetapi perlu kita sadari bersama, bahwa pada masa dulu ilmu-ilmu Islam yang lain juga belum ada. Belum ada ilmu fiqh dan ushul fiqh, belum ada ilmu hadis dan ushul hadis, belum ada ilmu siyasah syar’iyyah dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal-hal baru yang muncul, pada masa dulu para sahabat tidak perlu bingung-bingung dengan konsep hadharah dan madaniyah. Mengapa? Sebab pada masa mereka Rasulullah saw. masih ada. Sehingga jika mereka menemukan hal-hal yang baru, mereka akan langsung menanyakannya kepada Rasulullah.

Atau pada masa tabi’in dan sahabat sepeninggal Rasulullah. Pada masa dulu, jika tabi’in menemukan satu hal yang baru dan tidak bisa memecahkan permasalahannya, maka mereka akan bertanya kepada sahabat yang masih hidup. Begitu seterusnya. Hingga pada masa kontemporer, ketika orang mengalami kebingungan dalam memilih dan memilah, mana yang harus diambil dari peradaban orang-orang Barat, maka Syaikh Taqiyuddin pun segera melakukan ijtihad, dan dihasilkanlah sebuah konsep yaitu hadharah dan madaniyah. Hadharah yang wajib diambil hanyalah hadharah Islam, dan hadharah selain Islam wajib ditolak. Sedangkan madaniyah juga harus dilihat dengan seksama, jika bersifat umum maka boleh diambil, jika bersifat khas, maka tidak boleh diambil. Demikianlah..

Jadi, jika kita mau berpikir objektif, tidak perlu melihat siapa yang menyampaikan. Mari kita melihat, apa yang disampaikan. Jika apa yag disampaikan memang benar dan memiliki hujjah yang kuat, mengapa tidak kita ambil? Jika kita memiliki pendapat A, dan kemudian datang pendapat B dengan hujjah yang lebih kuat, mengapa kita masih mempertahankan yang A padahal ada hujjah yang lebih kuat, yaitu pendapat B? Sepertinya, setiap orang perlu jujur kepada diri sendiri. Tidak penting, orang itu berasal dari gerakan Islam mana. Jika memang lebih kuat, tentu harus diambil dan menyepakati pendapat yang lebih kuat tersebut dan membenarkannya.

Kita semua perlu mengakui kebenaran kata-kata Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, “Kewajiban yang kita miliki, lebih banyak daripada waktu yang tersedia.” Walaupun saya tidak menjadi pengikut beliau di gerakan Ikhwanul Muslimin, tetapi saya mengakui betul bahwa kata-kata tersebut memang benar, dan sangat benar. Mengapa? Sebab, realitasnya memang demikian. Kewajiban umat Islam memang sangat banyak (terlepas dari qadhiyah mashiriyahnya), sedangkan waktu yang ada sangat sedikit.

Oleh karena itu, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang memegang teguh prinsip kebenaran. Melihat kebenaran dari kebenaran itu sendiri, bukan dari orang atau yang lainnya.
 
 Oleh: Agus Trisa

Sabtu, 28 April 2012

Pancasila Bukan Ideologi


HTI-Press. Pancasila hanya sebagai set of phylosophi (seperangkat gagasan filosofis) bukan sebagai ideologi. Sebab, kalau ideologi mengandung dua unsur penting yang pertama pemikiran menyeluruh terhadap alam semesta, kehidupan dan manusia. Dan kedua, darinya lahirlah sistem. Inilah yang tidak dimiliki oleh Pancasila dan hanya sebagai perangkat falsafah.

Hal ini dijelaskan oleh Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto saat menjadi pembicara dalam diskusi dan bedah buku Pancasila 1 juni dan syariah Islam karya Prof. Dr. Hamka Haq, M.A. Rabu (10/08) di Mega Institute Jakarta.

Ismail menjelaskan bahwa pada faktanya rumusan seperti ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang beradap dan seterusnya. Itu merupakan rumusan filosofis tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan hanya sebagai filosofi bukan ideologi.

“maka falsafah-falsafah itu sesungguhnya hanya falsafah-falsafah biasa. Dia mengandung nilai-nilai apa yang dirumuskannya. Ketuhanan yang maha esa kalau dikatakan apakah itu sesuai dengan islam, ya tentu saja kecuali kalau bunyinya ketuhanan maha dua, ” ujarnya.

“Nah pada level filosofi sesungguhnya ini bisa ditarik kemana-mana. Kalau ditanya sesuai dengan islam ya sesuai-sesuai saja. Sesuai dalam arti bahwa hanya sebatas nilai-nilai filosofi itu ada pada islam,” terangnya.

Mengomentari tentang buku Pancasila 1 juni dan Syariah Islam karya Prof. Dr. Hamka Haq, M.A. Ismail Yusanto mengatakan bahwa buku ini lebih pada ke ayatisasi Pancasila.

“Pancasila tidak cukup untuk mengatur masyarakat kita, sebab pancasila tidak menyentuh pada tataran sistem. Dan Islam sangat beda dengan pancasila sebab Islam lebih luas dari falsafah-falsafah yang ada pada pancasila,” jelasnya.

Dalam diskusi dan bedah buku ini, hadir juga sebagai pembicara Habib Muhsin Alatas (FPI) dan Abdul Moqsith (JIL).[]fatih mujahid/Media Umat

FAKTA SEJARAH PANCASILA



FAKTA SEJARAH PANCASILA



FAKTA SEJARAH PANCASILA

Dewa Fir'aun Horus Yang  Melahirkan Agama Hindu dan Diadopsi dengan nama baru yaitu Garuda


Oleh: Dian Umbara, ST.

Pancasila sendiri merupakan Ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Kata Pancasila berasal dari dua buah kata dari bahasa sansekerta yaitu Panca berarti lima dan Sila yang berarti dasar.

Pertama, Garuda adalah adaptasi dari Garida yang dalam mitologi Hindu India berbentuk manusia berwarna emas, berwajah putih, berparuh dan bersayap merah. Diperkirakan sosok ini adalah adaptasi Hindu terhadap Dewa Ra/Bennu dalam mitologi Mesir kuno (DEWA HORUS). Garuda juga banyak kesamaan dengan mitologi Pha Krut (Thailand), Rukh (Arab), Simurgh (Persia), Thunderbird (Indian), Vurumahery (Madagaskar) dan Phoenix (Yunani Kuno).

Garuda/Horus Thailand - Pha Krut

Di Indonesia mitologi Garuda sudah ada sejak abad ke-6 dengan digunakannya Garuda sebagai lambang pada Kerajaan Mataram Kuno (Garudamukha), Kerajaan Kedah (Garudagaragasi), Kerajaan Sumatera dan Kerajaan Sintang Kalimantan. Dalam Kesusastraan (pewayangan) Garuda yang disebut Garudeya dikenal sebagai kendaraan Bathara Kresna/Dewa Wisnu sebagai dewa pencipta dan pemelihara. 

   
Jatayu (Sanskerta: जटायू,; Jatāyū) adalah tokoh protagonis dari wiracarita Ramayana, putera dari Sang Aruna dan keponakan dari Sang Garuda.
Selain itu di beberapa candi juga terdapat artefak bermotif Garuda seperti pada candi Prambanan, candi Belahan, Candi Kidal, Candi Kedaton dan Candi Sukuh. Jadi simbol Garuda Pancasila sebenarnya terselip ajaran Paganisme Hindu yang jika ditarik kebelakang berasal dari ajaran Mesir Kuno yaitu Thagut Fir'aun dan dibawa keseluruh dunia oleh para Freemason/Laskar Iblis.





 Burung Garuda tunggangan dewa Wisnu, berhala Hinduism yang diadopsi dari kepercayaan Thogut Fir'aun bernama Dewa Horus Laknatullah

 

Kedua, Fakta yang cukup mencengangkan. Dikatakan bahwa kaum-kaum pagan dari zaman dulu selalu melembagakan keyakinannya secara nyata dalam bentuk negara atau pemerintahan dan membuat lambang-lambang dari bentuk burung sebagai lambang negaranya.

 
 Mesir Kuno adalah ajaran tua dan mempengaruhi kebudayaan manusia di dunia, Dewa Horus telah diadopsi oleh banyak negara dengan bentuk dan wajah berbeda namun bermuara pada satu ajaran yakni Paganism Pharaoh.


Atau kita tarik yang lebih tua lagi umurnya yaitu Bangsa Sumeria dengan Annunaki-nya yang berasal dari planet Nibiru

 
 
Referensi:

1.Jejak Freemason dan Zionis Di Indonesia.flv : http://www.youtube.com/watch?v=AdliH2iZ-​qw
2.(http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-​anda/doktrin-zionisme-pada-pancasila-eks​es-terapan-pancasila-di-masa-orba.htm)
3.(http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-​anda/menguak-doktrin-zionisme-pada-panca​sila.htm)
4.http://id.wikipedia.org/wiki/Jatayu
5.http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda


MEMBEDAH DAN MENGKRITISI PANCASILA DAN UUD 1945 DARI SUDUT PANDANG KITAB SUCI KITA ALQURAN

MEMBEDAH DAN MENGKRITISI PANCASILA DAN UUD 1945 DARI SUDUT PANDANG KITAB SUCI KITA ALQURAN 0






MEMBEDAH DAN MENGKRITISI PANCASILA DAN UUD 1945 DARI SUDUT PANDANG KITAB SUCI KITA ALQURAN

Pembahasan ini adalah untuk menunjukkan kepada kita tentang kemusyrikan yang terang dan kekafiran yang nyata dari Pancasila dan UUD 1945. Sehingga tidak ada lagi kesamaran bagi kita untuk mempertanyakan keislaman siapa saja yang menerima Pancasila dan UUD 1945, membanggakannya, serta mengamalkannya baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di dalam Bab XV pasal 36 A : ”Lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika”.

Pancasila adalah dasar negara, sehingga para Thaghut RI dan aparatnya menyatakan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara RI, serta merasakan bahwa Pancasila adalah sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, pengamalannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia. Setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan serta lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. [Lihat PPKn untuk SD dan yang lainnya, bahasan Ekaprasetya Pancakarsa].

Jadi dasar negara RI, pandangan hidupnya, serta sumber kejiwaannya bukan لا إله إلا الله tapi falsafah syirik Pancasila Thaghutiyyah Syaitaniyyah yang berasal dari ajaran syaitan manusia, bukan dari wahyu samawi ilahi

اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
”Itulah Al-Kitab (Al-Qur’an), tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk
(pedoman) bagi orang-orang yang bertaqwa”.(Qs. Al-Baqarah : 2)

Tapi mereka mengatakan : ”Ini Pancasila adalah pedoman hidup bagi bangsa dan pemerintah Indonesia”.

اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
”Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia…”. (Qs. Al-An’am : 153)

Tapi mereka menyatakan : ”Inilah Pancasila yang sakti, hiasilah hidupmu dengan dengan moral Pancasila”.

Oleh karena itu, dalam rangka menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai orang yang Pancasilais (baca : musyrik), para Thaghut (Pemerintah) menjadikan PMP/PPKn sebagai pelajaran wajib di semua lembaga pendidikan mereka.

Sekarang mari kita kupas beberapa butir Pancasila…

Dalam sila I butir II : ”Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan”.

Pancasila memberikan kebebasan orang untuk memilih jalan hidupnya, dan tidak ada hukum yang melarangnya. Seandainya orang muslim murtad dan masuk Nasrani, Hindu, atau Budha, maka itu adalah kebebasannya dan tidak akan ada hukuman baginya. Sehingga ini membuka pintu lebar-lebar bagi kemurtadan, sedangkan dalam ajaran Tauhid Rasulullah bersabda : ”Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Namun kebebasan ini bukan berarti orang muslim bebas melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam, tapi ini dibatasi oleh Pancasila, sebagaimana yang tertera dalam butir I : ”Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Sehingga bila ada orang murtad dari Islam, terus ada orang yang menegakkan terhadapnya hukum اللّهsubhanahu wata’ala yaitu membunuhnya, maka orang yang membunuh ini pasti dijerat hukum Thaghut.

Dalam sila II butir I : ”Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia”.

Yaitu bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka dalam status itu semua dengan sebab dien (agama), sedangkan اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
”Katakanlah : Tidak sama orang buruk dengan orang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menakjubkan kamu”.(Qs. Al-Maaidah : 100)

Dia Ta’ala juga berfirman :
”Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”.(Qs. Al-Hasyr : 20)

اللّهsubhanahu wata’ala juga berfirman :
”Maka apakah orang yang mukmin (sama) seperti orang yang fasik? (tentu) tidaklah sama”.
(Qs. As-Sajadah : 18)

Sedangkan kaum musyrikin dan Thaghut Pancasila mengatakan : ”Mereka sama”.

اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
”Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu memiliki sebuah kitab (yang diturunkan اللّه) yang kamu membacanya, bahwa didalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu”.(Qs. Al-Qalam : 35-38)

Sedangkan budak Pancasila, mereka menyamakan antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir. Dan saat ditanya, Apakah kalian mempunyai buku yang kalian pelajari tentang itu ? . Mereka menjawab : ”Ya, kami punya. Yaitu PMP/PPKn dan buku lainnya yang dikatakan di dalamnya : ”Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia”.

Apakah ini Tauhid atau Kekafiran ???

Lalu dinyatakan dalam butir II : ”Saling mencintai sesama manusia”.
Pancasila mengajarkan pemeluknya untuk mencintai orang-orang Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu, para Demokrat, para Quburriyyun, para Thaghut dan orang-orang kafir lainnya. Sedangkan اللّه ta’ala mengatakan :
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada اللّه dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang اللّه dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”.(Qs. Al Mujadilah : 22)

Kata Pancasila : “Harus saling mencintai meskipun dengan orang-orang non-muslim”. Namun kata اللّه , orang yang saling mencintai dengan mereka bukanlah orang Islam.
اللّه mengajarkan Tauhid,
Tapi Pancasila mengajarkan kekafiran

اللّه subhanahu wata’ala juga berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman setia yang kalian menjalin kasih sayang dengan mereka”.(Qs. Al-Mumtahanah : 1)

Dia subhanahu wata’ala berfirman tentang siapa musuh kita itu :
“sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian”.(Qs. An-Nisa’ : 101)

Renungi ayat-ayat itu dan amati butir Pancasila di atas.
Yang satu ke timur dan yang satu lagi ke barat,
Sungguh sangat jauh antara timur dan barat

اللّه subhanahu wata’ala berfirman tentang ajaran Tauhid yang diserukan para Rasul :
“serta tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya
sampai kalian beriman kepada اللّه saja”.(Qs. Al-Mumtahanah : 4)

Tapi dalam Thaghut Pancasila : “Tidak ada permusuhan dan kebencian, tapi harus toleran dan tenggang rasa”.
Apakah ini Tauhid atau Syirik ???

Ya, Tauhid… tapi bukan Tauhidullah, namun Tauhid (Penyatuan) kaum musyrikin atau Tauhiduth Thawaaghit.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah mengabarkan bahwa :“Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena اللّه dan benci karena اللّه”.
Namun kalau kamu iman kepada Pancasila, maka cintailah orang karena dasar ini dan bencilah dia karenanya. Kalau demikian berarti adalah orang beriman, tapi bukan kepada اللّه, namun beriman kepada Thaghut Pancasila. Inilah yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang Esa itu bukanlah اللّه dalam agama Pancasila ini, tapi itulah garuda Pancasila.

Enyahlah Tuhan yang seperti itu…
Dan enyahlah para pemujanya….

Dalam sila III butir I : “Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan”.

Inilah yang dinamakan dien (agama) Nasionalisme yang merupakan ajaran syirik. Dalam butir di atas, kepentingan Nasional harus lebih di dahulukan siatas kepentingan golongan (baca : agama). Apabila Tauhid atau ajaran Islam bertentangan dengan kepentingan syirik atau kufur negara, maka Tauhid harus mengalah. Sedangkan اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului اللّه dan Rasul-Nya”. (Qs. Al-Hujurat : 1)

Oleh sebab itu, karena Nasionalisme adalah segalanya maka hukum-hukum yang dibuat dan diterapkan adalah yang disetujui oleh orang-orang kafir asli dan kafir murtad, karena hukum اللّه sangat-sangat menghancurkan tatanan Nasionalisme, ini kata Musyrikun Pancasila.
 
Sebenarnya kalau dijabarkan setiap butir dari Pancasila itu dan ditimbang dengan Tauhid, tentulah membutuhkan waktu dan lembaran yang banyak. Namun disini kita mengisyaratkan sebagiannya saja.

Kekafiran, kemusyrikan dan kezindikan Pancasila adalah banyak sekali. Sekiranya uraian di atas cukuplah sebagai hujjah bagi pembangkang dan sebagai cahaya bagi yang mengharapkan hidayah.
Setelah mengetahui kekafiran Pancasila ini, apakah mungkin orang muslim masih mau melagukan : “Garuda Pancasila, akulah pendukungmu…”.

Tidak ada yang melantunkannya kecuali orang kafir mulhid atau orang jahil yang sesat yang tidak tahu hakikat Pancasila.

Sedangkan di dalam UUD 1945 Bab II pasal 3 ayat (1) : ”MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”.

Sudah kita ketahui bahwa hak menentukan hukum / aturan / undang-undang adalah hak khusus اللّه subhanahu wata’ala. Dan bila itu dipalingkan kepada selain اللّه maka itu adalah syirik akbar. اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
”Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu bagi-Nya dalam menetapkan hukum”.
(Qs. Al-Kahfi : 26)

اللّه subhanahu wata’ala berfirman :
“Hak hukum (putusan) hanyalah milik اللّه”. (Qs. Yusuf : 40)

Tasyri’ (pembuatan hukum) adalah hak khusus اللّه subhanahu wata’ala, ini artinya MPR adalah arbab (Tuhan-Tuhan) selain اللّه, dan orang-orang yang duduk sebagai anggota MPR adalah orang-orang yang mengaku sebagai Rabb (Tuhan), sedangkan orang-orang yang memilihnya adalah orang-orang yang mengangkat ilah yang mereka ibadahi. Sehingga ucapan setiap anggota MPR : ”Saya adalah anggota MPR”, artinya adalah ”Saya adalah Tuhan selain اللّه”.

UUD 1945 Bab VII pasal 20 ayat (1) : ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.

Padahal dalam Tauhid, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang / hukum / aturan tak lain hanyalah اللّه subhanahu wata’ala.

Dalam pasal 21 ayat (1) : ”Anggota DPR berhak memajukan usul Rancangan Undang-Undang”.
UUD 1945 Bab III pasal 5 ayat (1) : ”Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Bahkan kekafiran itu tidak terbatas pada pelimpahan wewenang hukum kepada para Thaghut itu, tapi itu semua diikat dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Rakyat lewat lembaga MPR-nya boleh berbuat tapi harus sesuai UUD 1945, sebagaimana dalam Bab I pasal 1 ayat (2) : ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Begitu juga Presiden, sebagaimana dalam Bab III pasal 4 ayuat (1) UUD 1945 : ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Bukan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi menurut Undang-Undang Dasar.

Apakah ini islam ataukah kekafiran ???

Bahkan bila ada perselisihan kewenangan antar lembaga pemerintahan, maka putusan final dikembalikan kepada Mahkamah Thaghut yang mereka namakan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Bab IX pasal 24C ayat (1) : ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.

Padahal dalam ajaran Tauhid, semua harus dikembalikan kepada اللّه dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada اللّه (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar benar beriman kepada اللّه dan hari kemudian”.
(Qs. An Nisa’ : 59)

Al imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : ”(firman اللّه) ini menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk hukum dalam kasus persengketaannya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta tidak kembali kepada keduanya dalam hal itu, maka dia bukan orang yang beriman kepada اللّه dan hari akhir”. [Tafsir Al-Qur’an Al-’Adhim : II / 346].

Ini adalah tempat untuk mencari keadilan dalam Islam, tapi dalam ajaran Thaghut RI, keadilan ada pada hukum yang mereka buat sendiri.

Undang-Undang Dasar 1945 Thaghut memberikan jaminan kemerdekaan penduduk untuk meyakini ajaran apa saja, sehingga pintu-pintu kekafiran, kemusyrikan dan kemurtadan terbuka lebar dengan jaminan UUD. Orang murtad masuk ke agama lain adalah hak kemerdekaannya dan tidak ada sanksi hukum atasnya. Padahal dalam ajaran اللّه subhanahu wata’ala, orang murtad punya dua pilihan, kembali ke Islam atau dihukum mati, sebagaimana sabda Rasulullah :
 
“Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang meminta-minta ke kuburan, membuat sesajen, tumbal, mengkultuskan seseorang, dan perbuatan syirik lainnya, dia mendapat jaminan UUD, sebagaimana dalam Bab XI pasal 29 ayat (2) : ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.

Mengeluarkan pendapat, pikiran dan sikap meskipun kekafiran adalah hak yang dilindungi Negara dengan dalih HAM, sebagaimana dalam Bab XA pasal 28E ayat (2) : ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.

Budaya syirik dan berhalanya mendapat jaminan penghormatan dengan landasan hukum Thaghut, sebagaimana dalam Bab yang sama pasal 28 I ayat (3) : ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

UUD 1945 juga menyamakan antara orang muslim dengan orang kafir, sebagaimana didalam Bab X pasal 27 ayat (1) : ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Padahal اللّه subhanahu wata’ala telah membedakan antara orang kafir dengan orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak.
 
اللّه Ta’ala berfirman :
”Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”.(Qs. Al-Hasyr : 20)

اللّه subhanahu wata’ala berfirman seraya mengingkari kepada orang yang menyamakan antara dua kelompok dan membaurkan hukum-hukum mereka :
 
”Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”.(Qs. Al-Qalam : 35 - 36)

Dia subhanahu wata’ala berfirman :
”Maka apakah orang yang mukmin (sama) seperti orang yang fasik? (tentu) tidaklah sama”.
(Qs. As-Sajadah : 18)

اللّه subanahu wata’ala menginginkan adanya garis pemisah yang syar’i antara para wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya dalam hukum-hukum dunia dan akhirat. Namun orang-orang yang mengikuti syahwat dari kalangan budak Undang-Undang negeri ini ingin menyamakan antara mereka.

Siapakah yang lebih baik ???

Tentulah aturan اللّه Yang Maha Esa yang lebih baik.

Akibat penerapan Hukum Thogut maka lahirlah hukum-hukum buatan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah seperti Maraknya/dilegalkannya bank Ribawi, Ahmadiyah dilindungi, JIL yang menghujat Islam dibiarkan karena dianggap kebebasan berbicara/kebebasan berkeyakinan dan berpendapat walaupun itu bertentangan dengan Islam, Lokalisasi yang marak dipenjuru negeri karena memang legal. Contohnya lokalisasi Dolly Surabaya adalah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara ditengah-tengah negara dengan jumlah muslim terbesar didunia, majalah Playboy, dilegalkannya pabrik miras contohnya bir bintang atau Arak orang tua, pornoaksi ditelevisi dan media hiburan lainnya, maraknya pornografi (tempat penjualan pusat vcd porno dijakarta malah dilindungi), dan seribu satu kemaksiatan dan kebejatan yang memang lahir dari hukum Kufur yang mengkafiri hukum Allah sehingga tak ayal lagi hancurlah tatanan umat yang beradab karena tidak dilindungi dengan aturan dan hukum yang paripurna yaitu hukum Allah. Maka tak heran jika kita mengemukakan gagasan penerapan syariat Islam, maka dengan lantang para munafikin berteriak: "Penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan semangat Pancasila". Berarti ini menegaskan bahwa pancasila sebenarnya sebagai alat untuk menindas hak konstitusional umat Islam dan juga sebagai alat mengkafiri perintah dan berhukum Allah.

Minggu, 22 April 2012

Ideolog Pejuang Syariah & Khilafah


PDF Print E-mail
Wednesday, 23 November 2011 17:24

Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani
Siapa yang tidak kenal Syeikh Taqiyuddin An Nabhani? Bagi para pejuang syariah dan khilafah namanya itu sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Melalui Hizbut Tahrir, partai politik Islam ideologis yang didirikannya, jutaan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia dibina secara intensif  untuk berjuang melanjutkan kembali kehidupan yang islami di bawah naungan khilafah Islam.
Biografi Singkat
Nama lengkap seorang ulama, qadhi, pemikir, dan politikus ulung ini adalah Syeikh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Peraih Syahadah al-‘Alamiyyah (Ijazah Internasional) Syariah dari Universiti Al Azhar Asy Syarif dengan predikat mumtaz (suma cum laude, nilai sempurna) pada 1932 ini dilahirkan di daerah Ijzim tahun 1909.
Ayahnya adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah. Dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu, tentu berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidupnya. Terbukti, Syeikh Taqiyyuddin telah hafal Alquran dalam usia 13 tahun.
Pengaruh dari sang kakek, Syeikh Yusuf An Nabhani, seorang hakim terkemuka dan tokoh sufi ternama, juga tak kalah besar. Syeikh Taqiyyuddin makin mengerti masalah politik, apalagi kakeknya pernah punya hubungan erat dengan para penguasa Khilafah Utsmaniyah saat itu.
Ia pun banyak belajar dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fikih yang diselenggarakan oleh sang kakek. Kecerdasan dan kecerdikan Syeikh Taqiyyuddin yang tampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya. Maka, kakeknya itu memandang perlu mengirim Syeikh Taqiyyuddin ke Al Azhar untuk melanjutkan pendidikan ilmu syariah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani kembali ke Palestina dan bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai guru di sebuah sekolah menengah atas di Haifa.
Di sinilah lambat laun ia menyaksikan kuatnya pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan, yang ternyata lebih besar daripada bidang peradilan, terutama peradilan syariah. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk menjauhi bidang pengajaran dan mulai mencari pekerjaan lain yang pengaruh peradaban Baratnya relatif lebih sedikit.
Ia lantas mendapat pekerjaan di Mahkamah Syariah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara. Kariernya terus melejit hingga pada 1948 ia diangkat sebagai hakim di Mahkamah Syariah Al Quds.
Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu, Al Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih, ia diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf.
Dalam setiap kesempatan, ia selalu menyampaikan gagasan wajibnya kaum Muslim untuk kembali menegakkan khilafah pasca keruntuhannya pada 1924. Ia membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa setiap orang yang ditemuinya, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam.
Aktivitas politiknya itu ternyata membuat Raja Abdullah bin Al Hussain marah, lalu dipanggillah Syeikh Taqiyyuddin untuk menghadap kepadanya. Ia diminta hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkannya menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Jordan.
Namun Syeikh Taqiyyuddin tidak menjawab pertanyaan itu, malah berpura-pura tidak mendengar. Ini menyebabkan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Akan tetapi Syeikh Taqiyyuddin tetap tidak menjawabnya.
Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepadanya, “Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?”
Lalu, Syeikh Taqiyuddin berkata kepada dirinya sendiri, “Kalau aku lemah untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti?”
Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya seraya berkata, “Aku berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi agamaNya dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama)Nya. Dan aku amat membenci sikap nifak dan orang-orang munafik!”
Maka merah padamlah muka Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga Syeikh Taqiyyuddin diusir dari  majelis tersebut dan disel.
Mendirikan Hizbut Tahrir
Sekeluarnya dari tahanan, Syeikh Taqiyyuddin lalu kembali ke Al Quds dan mengundurkan diri dari jabatannya seraya menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja melaksanakan tugas pemerintahan apa pun.”
Namun demikian, aktivitas politik Syeikh Taqiyyuddin tidak pernah surut dan tekadnya pun tidak pernah luntur. Untuk membakukan perjuangannya, ia pun mendirikan Hizbut Tahrir pada 1953. Namun baru saja beberapa jam berdiri, pemerintah Yordania langsung menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai terlarang.
Syeikh Taqiyyuddin tidak gentar dan tetap melanjutkan misinya menyebarkan risalah gerakan yang telah didirikan dan tetapkan falsafahnya dengan karakter tertentu yang digali dari nash-nash syara dan sirah Nabi SAW. Melalui partainya, ia menaruh harapan besar untuk membangkitkan umat Islam.
Syeikh Taqiyyuddin menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizb yang dipimpinnya hingga berpulang ke rahmatullah pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M.
Upaya ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizb sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, kendatipun Hizb tetap tergolong partai terlarang di sebagian negeri di dunia.
Di samping itu, Syeikh Taqiyyuddin telah meninggalkan kitab-kitab penting sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Ia yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizb, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara, maupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial.
Kitab-kitab Syeikh Taqiyyuddin terlihat istimewa karena mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan problematika manusia. Setidaknya ada 25 kitab yang telah ditulisnya. Kebanyakan karyanya berupa kitab-kitab tanzhiriyah (penetapan pemahaman/pandangan) dan tanzhimiyah (penetapan peraturan).
Semua kitab itu ditulis dalam rangka mengajak kaum Muslimin untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam (li'istina fil hayatil Islam) melalui penegakan khilafah (khilafah ala minhajin nubuwwah). []joy/berbagai sumber

 

Sabtu, 21 April 2012

Runtuhnya Mitos R.A Kartini Dan Rekayasa Sejarah




Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia (Satu Abad Kartini 1879-1979, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4).

Dari penelusurannya itu dia menyimpulkan jika Sebenarnya kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia.

Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh
Kedua, Datu ( Ratu ) Siti Aisyah We Tenriolle.

Anehnya, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.

Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang pantas menggantikan kartini adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penokohan Kartini Betul-Betul Merupakan Pilihan Belanda
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia.

Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.

Hal yang teramat aneh (dalam penelusurannya) adalah : Orang-orang Indonesia sendiri terutama dilingkungan Kartini berasal, dalam masa kehidupan Kartini, hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini

Kami sendiri sangat mengharap, terutama pembaca lintas frekuensi yang bukan sekedar ikut-ikutan, untuk mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dalam hal KEIMANAN untuk dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan dan suri tauladan banyak orang.

Jadilah yang pertama yang secara halus meruntuhkan mitos Kartini. Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada yang dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Rohana Kudus dari Padang
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini HARUS SEGERA DI GUGURKAN. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Read more: http://lintasfrekuensi.blogspot.com/2011/07/runtuhnya-mitos-ra-kartini-dan-rekayasa.html#ixzz1sjInQDf5

Rabu, 18 April 2012

Islam Menolak Feminisme


Islam Menolak Feminisme
slogan feminisme




0digg



Muslimahzone.com - Sempat tidak diketahui publik, Rancangan Undang- Undang  Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang kini sedang alot dibahas di legislatif, hampir saja melaju mulus digodok tanpa mendapat perhatian umat. Beruntungnya beberapa tokoh yang concern menggeluti pemikiran Islam, menginterupsi perjalanan RUU tersebut agar diketahui publik dan dapat dilawan pengesahannya.
Dalam RUU KKG ini, sangat kental dengan penetrasi ideologi feminisme yang mencoba menghancurkan sendi-sendi hak dan kewajiban kaum pria serta wanita dalam pandangan syar’i melalui pengarus utamaan gender.
Jika, RUU KKG ini berhasil disahkan dampaknya bukan main luar biasa terhadap struktur interaksi pria dan wanita, bahkan menyerang secara langsung syari’at Islam yang memiliki pola aturan tersendiri untuk mengatur peran dan tugas pokok  kaum pria dan wanita.
Menurut Henri Salahuddin, salah seorang tokoh Pendiri MIUMI, pengesahan RUU KKG akan melahirkan permasalahan baru yang lebih berat. RUU KKG bukan menjadi solusi bagi pemberdayaan kaum hawa, tapi justru pemaksaan terhadap kaum wanita untuk turun ke ranah publik layaknya kaum laki-laki. Padahal dalam Islam yang berkewajiban mencari nafkah adalah laki-laki. Bukan wanita. Karenanya, aktivis feminis disinyalir tidak pernah bahagia dalam kehidupan rumah tangga. Karena kodrat kaum wanita memang tercipta berbeda dengan kaum laki-laki.
“Kalau semuanya dituntut sama dengan kaum laki-laki, saya yakin kaum feminis ini adalah orang-orang yang tidak pernah menikmati suasana romantis (bahagia) dalam berumah tangga. Karena, istri bakal menuntut suami sama dengan dirinya. Jadi, laki-laki harus hamil dan mengalami yang namanya haid dan nifas supaya setara dan sama persis dengan kaum perempuan. Lama-lama, lihat laki-laki (maaf) kencing berdiri perempuan juga mau buang air kecil sambil berdiri,” ujar Henri berkelakar.
Sementara itu pegiat INSIST, Dr. Adian Husaini menggaris bawahi RUU KKG, setidaknya ada tiga (3) alasan yang perlu dikritisi dari RUU KKG tersebut.
Pertama, terkait definisi “gender” dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1).
Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.
Kedua, terkait RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiat kesetaraan gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat – termasuk konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karena bersifat universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakar pada ”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasi Kristen abad pertengahan.
Ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradaban sekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusan selesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan” hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah adil jika laki-laki boleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah tidak adil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluar rumah tanpa izin istri.
Dalam Isu gender ada 4 hal yang biasanya diperjuangkan oleh aktifis gender dan dirasa mampu merubah nasib kaum perempuan. Yaitu;
  1. Laki-laki dan perempuan sama.
  2. Ketidaksetaraan gender merugikan perempuan.
  3. Liberalisasi perempuan akan memajukan perempuan.
  4. menolak institusi keluarga dan sistem patriarki(simbol dominasi laki-laki terhadap perempuan)
Untuk memahami batilnya ideologi ini, perlu nampaknya kita mengetahui akar sejarah dan proses kelahiran Ideologi feminisme, yang melatar belakangi penggiat gender untuk memperjuangkan RUU KKG, karena sebagaian umat Islam masih memandang bahwa feminisme tidak bertentangan bahkan sesuai dengan Islam.
PENGERTIAN FEMINISME
Feminisme atau yang sering dikenal dengan sebutan emansipasi berasal dari bahasa latin yang berarti perempuan.Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dandalam keluarga, serta tindakan sadar perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaantersebut. Sedangkan menurut Yunahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah ke adaan tersebut.  Ada tiga ciri feminisme, yaitu :
  1.  Menyadari akan adanya ketidak adilan gender
  2.  Memaknai bahwa gender bukan seb agai sifat kodrati
  3.  Memperjuangkan adanya persamaan hak.
SEJARAH FEMINISME
Sejarah kelahiran feminisme beriringan dengan kelahiran Era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatiandari para perempuan kulit putih di Eropa.
Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah duniamenunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya.
Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yangdapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agrariscenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan dirumah.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropadan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulaimencuat.
 Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatanikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
 Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas.
Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negarabaru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.
Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria Yang kemudian menetap diPerancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis)bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa,Cixous mengkritik Logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacanapos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih spesifik,banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
 Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi tuntutan universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme.Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hock mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitananglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks “all women”. Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastranovelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubanghitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai  Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu dirumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua.
Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itukelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya.
Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwamereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwasemua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.
Ragam Feminisme
Para pelopor gerakan feminisme memandang kebebasan dan persamaan hak perempuan dan laki-laki sebagai penyempurnaan dan pencapaian tujuan gerakan hak asasi manusia. Mereka percaya bahwa segala kesulitan di dalam keluarga timbul, karena tidak adanya kebebasan perempuan, dan karena perbedaan hak mereka dengan laki-laki. Bila persamaan hak tersebut dipenuhi, maka seluruh kesulitan dalam keluarga akan terpecahkan. Perbedaan perspektif tersebut melahirkan- sejauh ini- 4 aliran besar, yakni :
  1. Feminisme Liberal.
  2. Feminisme Radikal.
  3. Feminisme Marxis.
  4. Feminisme sosialis.
  5. Dan sejumlah aliran Feminisme lain, seperti Psikoanalisis dan gender, eksistensialis, anarkis, postmodern, Multi cultural dan global, Theologis, Feminisme kegemukan, dan Ekofeminisme.
Wajah buruk Feminisme
Liberalisasi perempuan telah merubah banyak hal dalam wajah peradaban manusia, diantaranya  meningkatnya kelas pekerja wanita ,dan munculnya pemimpin-pemimpin perempuan  ke pentas politk nasional ataupun dunia akibat didorangnya isu tersebut.
Akan tetapi, liberalisasi perempuan atau emansipasi wanita yang berangkat dari feminisme ini, tidak serta merta memberikan solusi positif terhadap kemajuan wanita. Sebaliknya menyisakan banyak persoalan baru setelah sebelumnya tidak menyelesaikan masalah yang lama.
Secara tidak langsung akibat liberalisasi gender ini, wanita terjebak dalam eksploitasi pasar, hancurnya struktur rumah tangga, fenomena free sex, samen leven, menolak menikah, anak-anak broken home, anak-anak single parent dan pelecehan seksual banyak terjadi. Hingga, kesengsaraan menyapa dihari tua, dengan memenuhi panti-panti jompo.
Perempuan dalam pandangan Islam
Sebagai Dien (sistem, religi, metode hidup) yang sempurna, Islam mengatur hubungan dan peran antara pria dan wanita dengan sangat adil —keadilan yang dimaknai syari’at sebagai proporsionalitas bukan sebagai sama rata sama rasa— melalui wahyu dan Sunnah Rasulullah saw. Dimana, Allah swt mengetahui hakikat kaum perempuan, maka kaum wanita ditempatkan pada posisi yang layak demi kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Karena itu, kalau kita dalami konsep Islam, sesungguhnya yang menarik adalah bahwa surga bagi wanita lebih mudah untuk dicapai daripada kaum pria. Seperti dialog yang terjadi antara Asma’ binti Sakan dengan Rasulullah saw. Asma’ berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah Engkau diutus  oleh Allah untuk kaum pria dan juga wanita. Mengapa sejumlah syariat lebih berpihak kepada kaum pria? Mereka diwajibkan jihad, kami tidak. Malah, kami mengurus harta dan anak mereka di kala mereka sedang berjihad. Mereka diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at, kami tidak. Mereka diperintahkan mengantar jenazah, sedangkan kami tidak.” Rasulullah saw. tertegun atas pertanyaan wanita ini sambil berkata kepada para shahabatnya,
“Perhatikan! betapa bagusnya pertanyaan wanita ini.” Beliau melanjutkan, “Wahai Asma’! sampaikan jawaban kami kepada seluruh wanita di belakangmu, yaitu apabila kalian bertanggung jawab dalam berumah tangga dan taat kepada suami, kalian dapatkan semua pahala kaum pria itu.”
Perempuan dalam perspektif Islam mempunyai dua dimensi persamaan dan perbedaan dengan kaum Adam.
1. Kesamaan Kedudukan Perempuan dengan Laki-laki
Pada dasarnya, dalam islam tidak mengenal perbedaan kedudukan antara laku-lakidan perempuan, mereka semua dianggap sama dimata Allah, meraka memiliki potensi yang sama untuk menjadi Khalifah Allah. Secara fundamental Manusia dibedakan oleh Allah dari sisi ketaqwaannya. Pada saat penciptaan manusia pun, mereka berasal dari jenis yang sama dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan keturunannya, dalam sebuah hadits dijelaskan
Bahwasannya para wanita itu saudara kandung para pria” (HR. Ahmad, Abu Daud,dan Tirmidzi)
Kesamaan lain antara perempuan dan laki -laki adalah kesamaan mereka dalam menerima hukuman ketika mereka melakukan sebuah kesalahan dan kesamaan balasanketika mereka ada di akhirat kelak. Dalam Q.S. al-Mu’min ayat 40 dijelaskan bahwa:
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka ia tidak akan dibalas melainkansebanding dengan kejahatan itu. Dan, barangsiapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akanmasuk surga, diberi rizki di dalamnya tanpa terhitung”
Meski memiliki kesamaan dalam beberapa hal, perempuan dan laki-laki juga memiliki perbedaan.
2. Perbedaan Perempuan dengan Laki-laki
Dijelaskan  sebelumnya bahwasannya ada banyak kesamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dari sudut pandang islam. Namun ada banyak perbedaan antara perempuan dan laki-laki.Perbedaan antara perempuan dan laki-laki dapat dilihat dalam berbagai sudutpandang. Perbedaan tersebut terbagi menjadi dua hal, yaituperbedaan biologis dan perbedaan fungsional dalam hal kehidupan sosial.
Perbedaan biologis dari keduanya dapat muncul perbedaan fungsional. Bila dikaitkan dengan proses reproduksi, laki-laki berperan sebagai pemberi bibit, sedangkan perempuan berperan sebagai penampung dan pengembang bibit tersebut. Dari perbedaan di atas muncul perbedaan kedudukan posisi mereka dalam berkeluarga. Laki-laki diberi kedudukan sebagai kepala keluarga, laki-laki juga bertugas sebagai pencarinafkah untuk menafkahi kehidupan istri dan anak-anaknya. Perempuan dalam keluargabertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan rumah tangga dan mendidik anak.Perasaan perempuan yang lembut, membuat mereka sangat berperan penting dalam halpemeliharaan dan pengasuhan anak. Dijelaskan dalam al-Qu’ran surat At-Tahrim ayat 6 bahwa :
”Hai orang -orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yangkasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nyakepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Dalam hal aurat, batasan aurat antara laki-laki dan perempuan juga berbeda. Bagi laki-laki aurat mereka hanya antara pusar sampai lutut. Sedangkan untuk perempuan,aurat mereka adalah seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangannya. Dalam ibadah, laki-laki diwajibkan untuk melaksanakan shalat jum’at dan mereka selalu menjadi imam saat melakukan shalat. Sedangkan perempuan, mereka hanya disunnahkan saja untuk melakukan sholat jum’at, dan apabila ada laki-laki mereka diharamkan untuk menjadi imam dalam shalat.
Dalam hak sipil  pembagian harta warisan, jatah laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Selain itu, dalam hukum islam mereka mendapatkan hukum-hukum yang dikhususkan bagi mereka, seperti hukum tentang haid, iddah, kehamilan, dan sebagainya. Meskipun perempuan dalam keluarga tidak mendapatkan kewajiban untuk mencari nafkah, namun  islam memperbolehkan mereka untuk berkarir, namun hasil pendapatan mereka tidak boleh digunakan untuk menghidupi keluarga. Namun dalam berkarier mereka tidak boleh terlalu focus dalam berkarier sehingga membuat mereka lupa akan mengurus rumah tangga yang seharusnya menjadi kewajiban utama mereka.
Setidaknya, posisi wanita didalam Islam sebagai hamba Allah, memiliki kesamaan dengan pria dalam keimanan, balasan amal perbuatan, dan wanita juga memiliki posisi sebagai pendamping kaum pria tersebut.
Hak-Hak wanita dalam Islam
Islam juga memberikan hak-hak istimewa kepada kaum hawa diantaranya ialah :
  1. Hak profesi, dalam pekerjaan perempuan juga mempunyai hak didalamnya. Namun para ulamafikih memberikan batasan-batasan untuk perempuan, dalam keadaan apa sajamereka dapat melakukan pekerjaan diluar rumah, Ketika rumah tangga memerlukan biaya untuk pengeluaran kebutuhan primer dan sekunder. Jika suami telah meninggal dunia atau sedang sakit dan rumah tangga sudah tidak memiliki pendapatan lain selain dari suami, serta sudahtidak ada lagi yang bisa menolong kebutuhan rumah tangga mereka, maka seorang istri diperbolehkan bekerja diluar rumah dengan pekerjaan-pekerjaan yang tentunya diperbolehkan menurut syara’
  2. Hak sipil, didalam Islam perempuan juga diberikan hak untuk memiliki harta, mengaturnya, dan mengelolanya sendiri, serta hak-hak sipil lainnya.
  3. Hak Politik, sebagian kalangan memasukkan adanya hak beraktifitas politik kepada kaum wanita.
  4. Hak berumah tangga, perempuan berhak membangun rumah tangga, menentukan pendamping hidup dan menolak pinangan yang diajukan keluarga jika ia merasa kurang berkenan.
  5. Hak belajar dan mendapatkan pendidikan.
  6. Hak berpendapat, hak untuk mengutarakan ide dalam rumah tangga atau kehidupan sehari-hari.
Posisi Ibu rumah tangga yang selama ini, dipojokkan sebagai pihak tertuduh kemunduran kaum perempuan oleh para feminis, ternyata menjadi ibu rumah tangga  merupakan tempat yang sebenarnya menghidupkan perempuan itu sendiri . Kemajuan suatu peradaban tidak bisa dilepaskan oleh hasil buah tangan pendidikan yang baik.
Pendidikan yang terbaik itu lah berangkat dari situasi keluarga dan struktur rumah tangga yang baik pula, dimana ibu rumah tangga mempunyai peran sentral dalam menciptakan iklim yang kondusif tersebut.
Faktor tersebutlah, yang  membuat Islam memposisikan wanita lebih banyak berperan di rumah. Karena, semata-mata ingin memposisikan terhormat dan memajukan wanita itu sendiri, serta memajukan peradaban .
Ulah Demokrasi
Manuver-manuver politik yang dilakukan kaum feminis di negeri ini, tidak lain dan tidak bukan berangkat dari kesempatan yang diberikan oleh sistem demokrasi yang dianut negeri ini. Demokrasi yang mendeklarasikan dirinya ‘menuhankan rakyat’ (dikenal dengan slogan Vox populi vox dei) memiliki ruh kebebasan radikal dan kesetaraan yang bablas. Inilah yang membuat percaya diri kaum feminis untuk memperjuangkan pemikiran mereka, karena mereka merasa anak kandung dari demokrasi itu sendiri.
Fenomena tersebut, menjadi pelajaran penting bagi umat islam, akan urgensinya kehadiran Daulah Islamiyah ditengah-tengah mereka. Sebab, dalam kerangka daulah Islamiyah pemikiran yang jelas mencoba mengkudeta eksistensi syari’at islam, tidak akan mungkin dapat maju hingga sampai ke lembaga tinggi disuatu negara.
Pemikiran seperti itu akan segera dieliminasi ketika masih dalam fase embrio melalui  tarbiyah Islamiyah dan amar ma’ruf anhi munkar, sebab salah satu  fungsi utama daulah Islam ialah menjaga agama (al muhafazhah ala ad-din) dari kerusakan aqidah akibat serangan-serangan ideologi, pemikiran, dan pemahaman batil melalui ghazwul fikr.
Wallahu a’lam bishshowab
Penulis: Bilal
Sumber: Arrahmah.com
(zafaran/muslimahzone.com)

Sumber :  http://muslimahzone.com/islam-menolak-feminisme/