كَلا
إِنَّ الإنْسَانَ لَيَطْغَى، أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى، إِنَّ إِلَى رَبِّكَ
الرُّجْعَى، أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى، عَبْدًا إِذَا صَلَّى،
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى، أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى،
أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى، أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ
يَرَى، كَلا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ، نَاصِيَةٍ
كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ، فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ، سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ،
كَلا لا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ.
Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat
dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kamu kembali.
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika
dia mengerjakan shalat? Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang
itu berada di atas kebenaran atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan
berpaling? Tidakkah Dia mengetahui bahwa Allah melihat segala
perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat
demikian), niscaya Kami bakal menarik ubun-ubunnya; (yaitu) ubun-ubun
orang yang mendustakan lagi durhaka. Biarlah Dia memanggil golongannya
(untuk menolongnya). Kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah.
Sekali-kali jangan. Janganlah kamu patuh kepada dia. Bersujudlah engkau
dan mendekatlah (dirimu kepada Tuhan) (QS al-‘Alaq [96]: 6-19).
Ayat-ayat ini termasuk dalam surat al-Alaq. tetapi tidak turun bersamaan
dengan lima ayat sebelumnya. Lima ayat sebelumnya merupakan ayat yang
pertama kali diturunkan. Adapun ayat-ayat ini turun setelah beberapa
ayat dalam surat lainnya. Telah maklum bahwa susunan ayat dalam surat
tidak didasarkan pada urutan turunnya, namun didasarkan pada perintah
Allah SWT.1
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Kallâ inna al-insâna layathghâ (Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas). Kata kallâ merupakan harf yang memiliki beberapa arti. Menurut al-Qurthubi, al-Baghawi, al-Abyari, as-Samarqandi dan al-Wahidi kata kallâ di sini berarti haqq[an] (benar).2 Az-Zamakhsyari, al-Baidhawi, asy-Syaukani dan al-Alusi menafsirkan kallâ sebagai rad’[un] (mencegah,
menghalangi) bagi orang yang mengingkari nikmat Allah dengan melakukan
tindakan melampaui batas. Meskipun tidak disebutkan, penunjukan
kalimat menunjukkan makna demikian.3
Pengertian al-insân merujuk kepada anak-cucu Adam. Meskipun kata tersebut menunjukkan li al-jins,
dalam konteks ayat ini tidak mencakup semua jenis manusia. Menurut
Muqatil, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Jahal. Apabila mendapatkan
harta, maka dia menambah pakaian, kendaraan dan makanannya. Tindakan
tersebut melampaui batas.4
Ditegaskan bahwa manusia itu layathghâ. Ath-thughyân adalah mujâzawah al-hadd fî al-‘ishyân (melampaui batas dalam kemaksiatan). Oleh karena itu, kata yathghâ di sini berarti melampaui batas dan bersikap sombong terhadap Tuhannya.5 Realitas tersebut ditegaskan oleh dua huruf yang menunjukkan makna tawkîd, yakni huruf inna dan huruf al-lâm.
Kemudian disebutkan: an ra’âhu [i]staghnâ (karena dia melihat dirinya serba cukup). Huruf an merupakan harf mashdariyyah. Menurut al-Alusi, frasa tersebut berkedudukan sebagai maf’ûl min ajlihi. Artinya, dia bertindak melampaui batas karena dia merasa dirinya cukup.6 Kata mustaghniyy[an] berarti dia merasa dirinya cukup dengan harta, anak-anak dan kekuasaannya.7
Lalu Allah SWT berfirman: Inna ilâ Rabbika ar-ruj’â (Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kamu kembali). Kata ar-ruj’â merupakan bentuk mashdar ber-wazan fu’lâ seperti halnya kata al-busyrâ. Kata ar-ruj’â, al-marji’ dan ar-rujû’ merupakan bentuk mashdar, maknanya al-mashîr wa al-‘awdah (tempat kembali atau kembali).8
Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa manusia akan dikembalikan
kepada Allah SWT. Manusia pun tidak bisa mengelak dari hisab Allah dan
menerima balasan atas semua perbuatan yang mereka kerjakan selama di
dunia, termasuk tindakan melampaui batas dan sikap sombong yang
dilakukan. Oleh karena itu, menurut ar-Razi dan al-Baidhawi ayat ini
memberikan tahdîd[an] wa tahdzîr[an] (ancaman dan peringatan) bagi manusia akibat tindakan melampaui batas yang mereka lakukan.9
Setelah itu Allah SWT berfirman: Ara’ayta al-ladzî yanhâ ‘abd[an[ idzâ shallâ (Bagaimana
pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia
mengerjakan shalat). Dijelaskan al-Qurthubi, Ibnu Katsir dan
asy-Syaukani, al-ladzî yanhâ adalah Abu Jahal, sedangkan yang dimaksud ‘abd[an] adalah Rasulullah saw.10 Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata, “Jika aku melihat Muhammad shalat, sungguh akan kupukul lehernya.” Kemudian turunlah ayat-ayat ini sebagai ta’ajjub[an] (bentuk keheranan).11 Penjelasan serupa juga dikemukakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan Qatadah.12
Huruf hamzah pada kata ara’ayta merupakan istifhâm yang menunjukkan li al-inkâr wa at-ta’ajjub (pengingkaran dan keheranan), yang bermakna akhbirnî (kabarkanlah kepadaku).13 Sungguh, amat mengherankan ada orang yang melarang seorang hamba untuk beribadah kepada Tuhannya.
Kemudian ditegaskan: Ara’ayta inkâna ‘alâ al-hudâ (Bagaimana
pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran).
Karena masih kelanjutan ayat sebelumnya, hamba yang dimaksud adalah Nabi
Muhammad saw. Ditegaskan bahwa hamba tersebut alâ al-hudâ, yakni ‘alâ al-tharîqah al-mustaqîmah fîqawlihi wa fi’lihi (berada di atas jalan yang lurus, baik ucapan maupun perbuatannya).14
Juga: Aw amara bi al-taqwâ (atau
dia menyuruh bertakwa [kepada Allah). Tak hanya berada di atas
petunjuk, hamba tersebut juga mengajak orang lain seperti dirinya yang
berada di atas petunjuk. Dia memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada
Allah, yakni mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; atau
menurut al-Baghawi, memerintahkan untuk ikhlas dan tauhid.15
Ajakan ini seharusnya disambut dengan baik dan penuh sukacita. Sebab,
ajakan tersebut dapat mengantarkan manusia mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Jadi, sungguh mengherankan jika ajakan tersebut
ditolak, apalagi dihalangi.
Kemudian ditegaskan lagi: Ara’ayta in kadzdzaba wa tawallâ (Bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?).
Berkebalikan dengan yang dilarang. Orang yang melarang tersebut adalah kaddzaba wa tawallâ (yang mendustakan dan berpaling), yakni mendustakan apa yang dibawa Rasulullah saw. dan berpaling dari keimanan.16 Al-Farra’ berkata, “Bagaimana
pendapatmu tentang orang yang melarang hamba ketika dia mengerjakan
shalat, padahal orang yang dilarang tersebut berada di atas petunjuk dan
memerintahkan ketaatan, sedangkan yang melarang justru orang yang
mendustakan dan berpaling dari peringatan. Apa yang lebih mengherankan
dari ini?17
Kemudian Allah SWT berfirman: Alam ya’lam bi annal-Lâh yarâ (Tidaklah
Dia mengetahui bahwa Allah melihat segala perbuatannya). Semua
tindakan zalim yang dilakukan tidak akan dibiarkan begitu saja. Semua
dilihat dan didengar oleh Allah dan Dia akan membalas semua yang
dikerjakan dengan balasan yang sempurna.18 Ini merupakan takhwîf[an] syadîd[an] li al-‘ushâh wa targîb[an] ‘azhîm[an] l ahl al-thâ’ah (ancaman keras bagi pelaku ketaatan dan dorongan besar bagi pelaku ketaatan).19
Allah SWT berfirman: Kallâ la in lam yantahi lanasfa’an bi al-nâshiyah (Ketahuilah,
sungguh jika dia tidak berhenti [berbuat demikian] niscaya Kami bakal
menarik ubun-ubunnya). Ini merupakan teguran keras kepada Abu Jahal dan
orang-orang yang melakukan tindakan serupa dengannya. Apabila tidak
juga berhenti dari tindakannya yang zalim dan durhaka, maka hukuman
keras akan ditimpakan kepada mereka. Hukuman tersebut adalah lanasfa’an bi al-nâshiyah.
Kata as-saf’u berarti al-qabdhu ‘alâ asy-syay’ wa jadzabahu bi syiddah (menggenggam sesuatu dan menariknya dengan keras). Ini seperti yang disebutkan dalam QS ar-Rahman [55]: 41.20 Adapun an-nâshiyah adalah sya’r muqaddam ar-ra’s (rambut bagian depan kepala). Kata ini digunakan untuk mengungkapan diri seseorang secara keseluruhan. Disebutkan nâshiyah secara khusus karena kebiasaan orang Arab jika ingin menghinakan atau merendahkan seseorang ditarik jambulnya.21
Lalu dijelaskan lagi: Nâshiyat[in] kâdzbat[in] khâthi’at[in] ([yaitu] ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka). Yang ditarik tersebut adalah nâshiyah kâdzibah khâthi’ah, yakni kâdzibah fî qawlihi (pendusta dalam ucapannya); dan khâthi’ah fí fi’lihi (salah dalam ucapannya).22 Kata al-khâthi‘ berarti orang yang menyengaja berbuat seuatu yang tidak selayaknya. Adapun al-mukhti‘ adalah orang yang menginginkan kebenaran, lalu terjerumus pada yang lain. Apabila al-khâthi‘ dihukum (lihat QS al-Haqqah [69]: 37), al-mukhthi‘ tidak dihukum.
Kemudian Allah SWT berfirman: Falyad’u nâdiyah (Biarlah Dia memanggil golongannya [untuk menolongnya]). Menurut az-Zamakhsyari, pengertian al-nâdî adalah
majelis tempat berkumpulnya suatu kaum. Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir
dan al-Baghawi memaknainya sebagai kaum dan keluarganya. Maka dari itu,
mintalah pertolongan kepada mereka.23
Akan tetapi permintaan tolong itu sama sekali tidak berguna. Sebab, Allah SWT berfirman: Sanad’u az-zabâniyyah (kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah). Kata Az-zabaniyyah merupakan bentuk jamak dari kata az-zabani yang berarti al-daf’ (mendorong). Menurut Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud dengan itu adalah zabaniyyah Jahannam. Dinamakan demikian karena merekalah yang mendorong ahli neraka ke dalam neraka. Al-Zujjaj mengatakan: mereka adalah al-malâikah al-ghilâzh asy-syidâd (malaikat yang kasar lagi keras).24
Lalu surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Kallâ lâ tuthi’hu wa[u]sjud wa [i]tarib (Sekali-kali jangan. Janganlah kamu patuh kepada dia. Bersujudlah dan mendekatlah (dirimu kepada Tuhan). Kallâ di sini berarti: perkaranya tidak seperti yang diduga Abu Jahal. Lâ tuthi’hu berarti: Janganlah kamu menaati perkara yang diminta untuk meninggalkan shalat. Larangan ini seperti yang terdapat dalam QS al-Qalam [68]: 8). Kemudian diperintahkan: wa[u]sjud. Perintah bersujud berarti: shalatlah untuk Allah; dengan mengabaikan orang yang melarang dan tidak mempedulikan larangannya. Adapun wa[i]qtarib berarti bertaqarrublah kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah.25
Ancaman bagi Penghalang Syariah
Patut
dicatat, sekalipun ayat-ayat di atas turun berkenaan dengan Abu Jahal,
ia berlaku atas siapa yang bersikap sama atau mengikuti jejak Abu
Jahal. Sebagaimana dinyatakan Abdurrahman as-Sa’di, ayat ini berlaku
umum untuk semua orang yang melarang kebaikan dan yang dilarang atas
dirinya.26
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari ayat-ayat ini. Pertama:
tentang orang yang melampaui batas dan bertindak sombong terhadap
Tuhannya. Telah maklum bahwa Allah SWT telah memberikan syariah bagi
seluruh manusia. Syariah tersebut berfungsi sebagai hudûdul-Lâh (batas-batas
Allah) yang tidak boleh dilanggar. Barangsiapa yang melanggar berarti
telah melampaui batas. Terhadap pelakunya, Allah SWT memberikan ancaman
dan peringatan keras. Dalam ayat ini juga diberitakan mengenai
penyebab munculnya sikap tercela tersebut, yakni merasa dirinya serba
cukup dan tidak membutuhkan yang lain, termasuk Allah SWT. Oleh karena
itu, jika ingin mengubah sifat tercela tersebut dari dirinya, maka
orang tersebut harus menghilangkan sikapnya yang merasa dirinya serba
cukup.
Kedua:
tentang orang yang melarang dan menghalangi manusia melakukan
ketaatan. Orang yang dilarang tersebut berada di atas petunjuk dan
memerintahkan orang lain berbuat takwa. Sebaliknya, orang yang melarang
tersebut justru mendustakan Rasul dan risalahnya serta berpaling
darinya. Terhadap mereka, ayat ini memberikan acaman keras. Mereka akan
ditarik rambutnya dan dimasukkan ke dalam neraka-Nya. Segala kekuatan
yang dimiliki tidak berguna sama sekali karena berhadapan dengan
Malaikat Zabaniyyah yang amat kasar lagi keras dan mendorongnya ke
dalam neraka.
Ancaman
ini tidak hanya berlaku berlaku penghalang shalat, namun juga bagi
penghalang semua hukum syariah lainnya seperti zakat, puasa, haji,
dakwah, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya adalah orang yang
menghalangi tegaknya Khilafah dan para pejuangnya. Sebab, Khilafah bukan
saja perkara yang disyariatkan, namun tanpa Khilafah banyak hukum
syariah yang terlantar dan terabaikan.
Ketiga:
orang yang dilarang melakukan ketaatan. Dalam ayat ini ditegaskan
bahwa mereka dilarang untuk mengikuti perintah dan keinginan orang
durhaka tersebut. Perintah tersebut tidak boleh didengar dan
dipedulikan sama sekali. Sebaliknya, mereka harus tetap kukuh mengikuti
perintah kepada Allah SWT, apa pun risikonya. Sebab, mereka di atas
petunjuk kebenaran. Maka dari itu, mereka harus tetap bersujud, shalat,
beribadah dan menghamba kepada Allah SWT. Mereka juga diperintahkan
untuk menambah taqarrub kepada Alllah SWT. Di antara taqarraub
yang paling besar adalah berjuang menegakkan Khilafah. Sebab, dengan
tegaknya khilafah, syariah secara kaffah bisa diterapkan. Inilah
yang harus dilakukan. Ketika ini dilakukan, maka kebahagiaan di dunia
dan akhirat akan didapat. Ampunan, surga dan ridha-Nya adalah balasan
yang bakal diterima. Siapa yang tidak senang menyambut?
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Mishriyyah, 1963), 123.
2 Al-Qurthubi, Ibid.,; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (tt: Dar al-Thayyibah, 1997), 479; al-Abyari, Al-Mawsû’ah al-Qur‘âniyyah, vol. 11 (tt: Sajjal al-‘Arab, 1984), 481; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. al-Wahidi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz (Beirut: Dar al-Qalam, 1995), 1216.
3 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 777; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihyâ’ al-Turast al-‘Arabi, 1998), 325; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1994), 571; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 403.
4 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 479
5 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 571
6 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 404
7 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 594
8 Al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 315.
9 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 2000), 221; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl, vol. 5, 325. Lihat juga dalam al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1997), 663.
10 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairoi: Dar al-Kutub al-Mishiriyyah, 1964), 124; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 422; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 572.
11 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 124.
12 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 565.
13 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 322.
14 Ash-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 555. Lihat juga dalam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 423.
15 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 282.
16 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 574.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 124.
18 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 423.
19 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 3; 223; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 778 menyebutnya sebagai wa’îd (peringatan keras, ancaman).
20 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 3; 224; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 778.
21 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 125.
22 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 126.
23 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 778; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 282; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 423.
24 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 282
25 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 128; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 574
26 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 930.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar