Sabtu, 31 Maret 2012

Metode Meraih Kekuasaan Yang Sahih


oleh Ema Fitriana Madi pada 15 April 2011 pukul 11:57 ·
Oleh: Hafidz Abdurrahman

Angin perubahan yang berhembus dari Tunisia dipicu oleh kemarahan rakyat yang membuncah kepada penguasanya. Selama dua bulan, rakyat Tunisia bangkit melakukan perlawanan kepada penguasa despot (thaghut), Zain al-Abidin bin Ali yang berkuasa selama 24 tahun. Ben Ali pun jatuh, setelah militer mengambil alih kekuasaan di Tunisia.

Angin perubahan ini pun berhembus ke Mesir. Selama tiga minggu non stop, rakyat Mesir yang selama ini merasa tertindas oleh kediktatoran rezim diktator Husni Mubarak, pun bangkit melakukan perlawanan. Mubarak pun tumbang, Jumat (11/2). Pengunduran diri itu diumumkan wakilnya, Omar Sulaiman, kepala intelijen Mesir dan binaan CIA. Kekuasaan Mesir kini berada di tangan militer.

Dari dua peristiwa ini, bisa diambil pelajaran bahwa bertahan dan tumbangnya sebuah rezim tidak bisa dilepaskan dari dukungan militer. Ben Ali tumbang setelah militer, dan tentu Prancis, tidak lagi mendukung penguasa tiran itu. Sebaliknya, Mubarak pada awalnya tetap bertahan juga karena dukungan militer, selain tentu juga dukungan Amerika dan Israel, di belakang rezim tersebut. Karena itu, kekuatan rakyat dalam bentuk people power sebesar apapun tidak serta merta bisa menggulingkan rezim, kecuali dengan dukungan militer.

Dengan demikian, peranan militer sangat menentukan dalam perubahan. Baik murni bersandar pada kekuatannya sendiri, maupun karena dukungan dari luar. Dukungan luar pun tidak bisa serta merta mengambil alih kekuasaan, kecuali melalui dua jalan. Pertama, melalui kekuatan militer setempat, sebagaimana yang dilakukan Amerika ketika menggulingkan Soekarno, melalui Soeharto. Kedua, melalui invasi militer, sebagaimana yang dilakukan Amerika ketika menggulingkan Saddam Husein. Karena itu, metode perubahan melalui thalab an-nushrah sebenarnya bukan merupakan hal yang asing dalam proses perubahan.

Memang benar, bahwa people power bisa digunakan untuk melakukan perubahan dengan menjatuhkan rezim yang ada, lalu menggantinya dengan rezim yang baru. Meski, sebagaimana uraian di atas, perubahan itu tidak serta merta karena kekuatan rakyat, tetapi karena adanya dukungan militer. Dukungan militer tersebut diberikan setelah adanya preassure yang kuat dari rakyat. Posisi people power dalam konteks ini semacam conditioning (pengondisian) menuju terjadinya perubahan. Ini seperti yang terjadi saat Soeharto dipaksa turun dari jabatannya melalui people power, setelah militer menyatakan berpihak kepada rakyat. Hal yang sama juga terjadi di Tunisia.

Target dari people power pun kadang hanya sekadar mengganti rezim, sementara sistemnya masih tetap sistem lama. Kadang mengganti dua-duanya, sistem dan rezimnya sekaligus. Hanya saja, untuk target kedua ini sangat sulit diwujudkan melalui gerakan people power. Kecuali, jika people power tersebut dibentuk oleh kekuatan umat yang sadar dan menuntut perubahan berdasarkan ideologi Islam yang diyakininya. Kekuatan umat yang sadar ini terbentuk setelah umat dipersiapkan untuk meyakini dan menerima sistem Islam, baik sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum maupun politik luar negerinya. Menyiapkan umat hingga memiliki kesadaran ideologis ini hanya bisa dilakukan oleh partai politik ideologis.

Kepemimpinan partai ideologis di tengah-tengah umat inilah yang pada akhirnya menentukan kekuatan umat, ketika ideologi partai, yaitu akidah dan sistem yang diembannya telah menjadi ideologi umat dan ketika master plan partai, baik di bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negerinya, maupun road map untuk mewujudkannya telah diterima dan diyakini oleh umat. Umat yang sadar seperti inilah yang menjadi pondasi dan tonggak perubahan mendasar. Merekalah yang menjadi pilar tegaknya negara. Negara yang dibangun dengan kekuatan umat seperti itu juga merupakan negara yang sangat kuat dan solid. Itulah Negara Khilafah yang kita idamkan.

Namun tetap harus dicatat, bahwa kekuatan umat yang sadar di bawah kepemimpinan partai idoelogis itu saja ternyata belum menjamin kesuksesan peralihan kekuasaan (istilam al-hukm). Terbukti, bahwa sejak dekade awal 50-an abad yang lalu, partai ideologis itu ada dan berkiprah hingga kini, tidak kurang dari 58 tahun, dan umat yang sadar itu pun telah terbentuk di hampir 50 negara lebih, tetapi ternyata peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) itu belum terjadi. Ini membuktikan, bahwa kekuatan umat yang sadar ini tidak bisa berdiri sendiri. Ini juga membuktikan, bahwa konsolidasi dua kekuatan, yaitu kekuatan umat yang dipimpin oleh partai ideologis tersebut di satu sisi, dan kekuatan militer (ahl an-nushrah) di sisi lain, mutlak diperlukan untuk menjamin suksesnya peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) tersebut.

Sebagaimana kekuatan umat yang sadar tersebut tidak bisa menjamin suksesnya peralihan kekuasaan, maka kekuatan militer juga sama. Sejarah membuktikan, bahwa belum pernah ada kekuatan militer yang bisa memerintah tanpa dukungan partai politik. Apa yang terjadi beberapa tahun lalu di Thailand, ketikan Jenderal Sonti menggulingkan PM Taksin, yang kemudian menyerahkan pemerintahan kepada kekuatan politik partai, adalah bukti bahwa kekuatan militer tidak bisa memerintah sendiri. Hatta junta militer di Myanmar sekalipun, mereka nyatanya tetap membutuhkan partai politik, meski hanya simbolik.

Karena itu, bisa disimpulkan bahwa satu-satunya proses peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) yang benar, dan dijamin sukses adalah metode thalab an-nushrah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Selain sesuai dengan analisis faktual di atas, inilah metode satu-satunya yang ditelah dipraktekkan oleh Rasul ketika menerima kekuasaan dari penduduk Yatsrib (Madinah).

Pihak yang mempunyai kekuatan ketika itu adalah kepala suku dan kabilah, maka kepada merekalah Rasulullah SAW berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan pertolongan. Rasulullah pernah mendatangi Bani Tsaqif di Thaif, Bani Hanifah, Bani Kalb, Bani Amir bin Sha’sha’ah dan sejumlah kabilah yang lain. Namun, ternyata semuanya menolak. Ada yang menolak dengan keras, bahkan tidak manusiawi, seperti yang beliau alami di Thaif; ada juga yang menolak tanpa syarat, seperti yang beliau alami ketika menyatakan hasrat beliau kepada Bani Hanifah; atau ditolak karena beliau tidak mau mengabulkan syarat mereka, seperti yang beliau alami dari Bani Amir bin Sha’sha’ah.

Keteguhan Nabi melakukan thalab an-nushrah di tengah penolakan yang keras tersebut justru menjadi indikasi, bahwa tindakan beliau ini hukumnya wajib. Alasannya: (1) karena langkah ini beliau lakukan dengan konsisten, apapun dampak dan risikonya; (2) dampak dan risiko yang beliau terima ternyata tetap tidak mengubah konsistensi beliau. Dua hal ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa cara dan langkah tersebut hukumnya memang wajib.

Dalam konteks sekarang, thalab an-nushrah bisa dilakukan terhadap kepala negara, kepala suku dan kabilah, militer serta siapa saja yang mempunyai kekuatan dan pengaruh secara riil di tengah masyarakat. Syaratnya, mereka harus mengimani sistem Islam dan membenarkannya. Ini didasarkan pada riwayat, yang menyatakan, “Beliau pun meminta mereka untuk membenarkan beliau, dan memberikan perlindungan kepadanya.” (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, II/36.) Inilah satu-satunya cara yang legal dalam pandangan syariah dalam melakukan perubahan dan membangun pemerintahan Islam. Wallâhu a‘lam

Fikroh Hizbut Tahrir: Ideologi-Ideologi Dunia


oleh Ema Fitriana Madi pada 5 Mei 2011 pukul 12:34 ·
Di dunia ada tiga ideologi yaitu Islam, Kapitalis, dan Sosialisme-Komunisme.

Demokrasi Kapitalis

Demokrasi kapitalis merupakan ideologi yang dianut negara-negara Barat dan Amerika. Landasannya adalah pemisahan agama dari negara, atau pemisahan agama dengan urusan kehidupan. Mereka mengenal semboyan berikan hak kaisar untuk kaisar dan hak tuhan untuk tuhan. Dengan demikian ideologi kapitalis berpendapat bahwa manusialah yang berhak mengatur kehidupannya sendiri.

Ideologi ini merupakan ideologi kufur yang bertentangan dengan Islam, karena di dalam Islam hanya Allah saja sebagai Musyarri’ (Pembuat Hukum). Dialah yang berhak menetapkan aturan bagi manusia. Islam telah menjadikan negara sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hukum-hukum Islam. Islam mewajibkan agar seluruh urusan kehidupan dipecahkan dengan hukum syara’ yang telah diturunkan Allah. Oleh karena itu diharamkan bagi kaum Muslim menganut dan mengikuti ideologi kapitalis. Diharamkan pula mengambil pemikiran-pemikiran berikut aturannya. Karena ideologi tersebut adalah kufur. Begitu juga dengan ide-ide dan aturan kapitalis, seluruhnya adalah kufur dan bertentangan dengan Islam.

Pandangan Islam Tentang Kebebasan (Liberalisme)

Pemikiran yang paling menonjol dalam ideologi kapitalis adalah kewajibannya memelihara kebebasan individu. Kebebasan ini meliputi beberapa bentuk, yaitu kebebasan berakidah, berpendapat, pemilikan dan kebebasan bertingkah laku. Dari faham kebebasan pemilikan muncul sistem ekonomi kapitalis yang dibangun atas asas manfaat. Landasan pemikiran ini mengakibatkan penimbunan yang menggunung, dan unsur yang mendorong negara-negara Barat menjajah bangsa lain agar dapat merampas kekayaannya.

Keempat macam kebebasan ini bertentangan dengan hukum Islam. Seorang muslim tidak dibenarkan bebas memilih dalam hal akidah. Jika dia murtad, maka diperintahkan untuk bertaubat. Apabila tidak mau, maka dia dibunuh. Sabda Rasulullah saw:

«مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ»

Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah.  

Seorang muslim tidak dibenarkan bebas berpendapat. Apa yang menjadi pandangan Islam, wajib menjadi pandangannya. Tidak diperkenankan seorang muslim memiliki pendapat yang bukan berasal dari Islam.
Seorang muslim juga tidak bebas memiliki sesuatu sekehendaknya. Tidak diakui/tidak sah baginya memiliki sesuatu kecuali dalam batas-batas pemilikan yang telah ditentukan oleh syara’. Dia tidak bebas memiliki apa saja yang diinginkannya, dengan menghalalkan segala cara, melainkan ia terikat dengan batas-batas pemilikan. Secara mutlak tidak sah baginya memiliki sesuatu dengan cara-cara yang menyimpang dari ketentuan syara’. Seorang muslim tidak boleh memiliki sesuatu dengan cara riba, menimbun, menjual khamar, babi dan sebagainya. Sebab, cara-cara tersebut seluruhnya dilarang oleh syara’. Atas dasar ini maka tidak diperkenankan seorang muslim untuk memiliki sesuatu dengan salah satu jalan tadi.
Kebebasan bertingkah laku juga tidak ada rumusannya dalam Islam. Seorang muslim tidak bebas begitu saja bertingkah laku. Ia terikat dengan syara’. Bila seorang muslim tidak mendirikan shalat atau shaum, maka dia akan terkena sanksi. Begitu juga bila dia kedapatan mabuk, berzina, atau seorang muslimah keluar dengan ‘tubuh telanjang’ [tanpa berbusana muslimah (membuka auratnya)-pen] atau dengan tabarruj, maka tindakan tersebut terkena sanksi.

Dengan demikian kebebasan yang terdapat dalam sistem kapitalis Barat tidak ditemukan keberadaannya dalam Islam, malah seluruhnya bertentangan dengan hukum Islam.

Pandangan Islam Mengenai Demokrasi

Di antara pemikiran lain yang paling menonjol dalam ideologi kapitalis adalah demokrasi, yang semboyannya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dasar sistem demokrasi adalah rakyat sebagai pemilik kehendak, kedaulatan dan pemilik dalam hal pelaksanaannya. Karena rakyat yang memiliki segala sesuatunya, maka rakyatlah yang mengatur dirinya sendiri. Tidak seorangpun yang berhak dan dapat mengalahkan kekuasaan rakyat. Dengan demikian rakyatlah yang bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat dan penentu hukum). Rakyat yang membuat aturan sesuai dengan kehendaknya dan rakyat pula yang membatalkan atau menghapus aturan-aturan yang dikehendakinya. Namun demikian rakyat tidak dapat melaksanakan semua itu sendirian. Oleh karena itu, rakyat memilih wakil-wakil (mereka) agar seluruh kehendak rakyat dapat terlaksana. Maka, dibuatlah aturan main bagi wakil-wakil mereka tersebut.

Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kekuasaan sekaligus sebagai pelaksananya. Tetapi tidak mungkin seluruh rakyat berperan secara bersama-sama. Karenanya, rakyat perlu memilih para penguasa sebagai wakil mereka untuk melaksanakan perundang-undangan yang telah ditetapkan rakyat. Jadi, di dalam sistem kapitalis Barat, rakyat merupakan sumber kedaulatan, dan mereka bertindak sebagai tuan (pemilik kehendak), pembuat undang-undang, serta yang memerintah.

Sistem demokrasi seperti ini adalah sistem kufur. Ia adalah hasil buatan manusia dan bukan merupakan hukum-hukum syar’i, serta tidak boleh diterima. Melaksanakan sistem demokrasi berarti melaksanakan sistem kufur. Menyeru kepada sistem ini berarti mempropagandakan sistem kufur. Karena itu tidak dibolehkan mengembangkan, atau mengambilnya dengan alasan apapun dan dalam kondisi bagaimanapun.

Sistem demokrasi bertentangan dengan hukum Islam. Kaum Muslim diperintahkan supaya menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan hukum syara’. Seorang muslim adalah hamba Allah. Ia harus menyesuaikan kehendaknya sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Demikian pula umat tidak berhak memiliki dan menuruti kehendaknya sesuai dengan hawa nafsu. Sebab, kedaulatan bukan berada di tangan umat. Yang menjalankan kehendak umat adalah syara’ semata, karena kedaulatan ada di tangan syara’. Umat tidak memiliki hak tasyri’ (membuat hukum dan undang-undang-pen). Hanya Allahlah satu-satunya Musyarri’ (pembuat hukum dan perundang-undangan). Seandainya umat bersepakat menghalalkan apa yang diharamkan Allah, seperti riba, penimbunan, penipuan, zina atau minuman keras, maka kesepakatan mereka tidak akan bernilai sedikitpun. Sebab, ia bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Jika mereka bersikeras meneruskannya, maka mereka wajib diperangi.

Meskipun demikian Allah menjadikan kekuasaan (pemerintahan secara praktis) ada di tangan umat. Allah memberikan kepada umat hak untuk memilih dan mengangkat penguasa, yang mewakili umat dalam menjalankan dan mengendalikan pemerintahan. Allah telah mengatur (mensyari’atkan) cara pengangkatan dan absahnya penguasa dengan cara bai’at. Dari sini dapat dipahami perbedaan antara kedaulatan (as-siyadah) dengan kekuasaan (sulthan). Kedaulatan ada di tangan syara, sedangkan kekuasaan ada di tangan umat.

Komunisme

Komunis merupakan ideologi materialis yang berdiri atas dasar pengingkaran terhadap adanya sesuatu selain materi. Komunis menganggap bahwa materi adalah azali, yakni tidak berawal dan tidak berakhir. Materi tidak diciptakan oleh Pencipta. Berdasarkan anggapan ini, komunis tidak mengakui adanya Pencipta, dan mengingkari hari Kiamat. Mereka menganggap agama adalah candu bagi masyarakat.

Komunis adalah ideologi materialis yang mendasarkan kepada teori dialektika materialis dan teori historis materialis. Materi adalah sumber segala sesuatu. Segala sesuatu asalnya dari materi, lahir dan berkembang dengan cara evolusi. Sistem (aturan) komunis muncul dari perkembangan alat-alat produksi. Perubahan alat-alat produksi menimbulkan perubahan terhadap aturan yang ada. Menurut komunis, masyarakat adalah sekumpulan benda yang terdiri dari tanah, alat-alat produksi, alam dan manusia. Semuanya merupakan satu kesatuan yang dinamakan materi. Apabila terdapat perubahan secara evolutif terhadap alam dan apa yang ada di dalamnya, maka manusiapun dengan sendirinya turut berkembang dan berevolusi, yang pada akhirnya masyarakatpun turut berubah secara keseluruhan.

Menurut konsep komunis, masyarakat tunduk pada evolusi materi. Kalau masyarakat berkembang, maka individu turut berkembang. Individu mengikuti perkembangan masyarakat seperti layaknya perputaran gigi roda. Komunis melarang pemilikan individu terhadap alat-alat produksi. Semuanya adalah milik negara.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka ideologi komunis adalah ideologi kufur. Begitu pula dengan ide dan aturan-aturannya, juga kufur dan bertentangan dengan Islam secara keseluruhan dan mendasar, baik secara global maupun rinciannya.

Islam telah menjelaskan dan memastikan bahwa materi itu diciptakan Allah. Materi tidak kekal, dan pasti akan binasa (rusak). Sedangkan manusia adalah makhluk bagi Sang Pencipta. Peraturan berasal dari Allah, bukan dari atau akibat perkembangan materi dan alat-alat produksi, begitu juga bukan berasal dari manusia. Sedangkan masyarakat merupakan kumpulan manusia yang memiliki pemikiran dan perasaan serta diterapkan peraturan di dalamnya. Yang menentukan bentuk masyarakat adalah peraturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat yang menerapkan sistem Islam dinamakan masyarakat Islam tanpa memperhatikan bentuk perkembangan alat-alat produksi di dalam masyarakat tersebut. Masyarakat yang menerapkan sistem kapitalis dinamakan masyarakat kapitalis. Begitu juga, masyarakat yang menerapkan peraturan komunis dinamakan masyarakat komunis, sekalipun alat-alat produksi yang ada persis sama seperti alat-alat produksi yang terdapat dalam (masyarakat) sistem kapitalis. (Sumber: Mengenal Hizbut Tahrir)http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/25/fikroh-hizbut-tahrir-ideologi-ideologi-dunia/

Apa Itu Khilafah ?

 Khilafah, sebagai sebuah istilah politik maupun sistem pemerintahan, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Hanya saja, keterputusan kaum Muslim dengan akar sejarah masa lalu merekalah yang menjadikan Khilafah ‘asing’, bukan hanya dalam konteks sistem pemerintahan mereka, tetapi bahkan dalam kosakata politik mereka. Kalaupun sebagian kalangan Muslim mengakui eksistensi Khilafah dalam sejarah, gambaran mereka tentang Khilafah bias dan beragam. Ada yang menyamakan Khilafah dengan kerajaan. Ada yang menganggap Khilafah sebagai sistem pemerintahan otoriter dan antidemokrasi. Ada yang memandang Khilafah sama dengan sistem pemerintahan teokrasi. Ada juga yang menilai Khilafah sebagai sistem pemerintahan gabungan antara demokrasi dan teokrasi (baca: teodemokrasi).
Ketika dijelaskan bahwa sistem pemerintahan Khilafah bukan monarki (kerajaan), bukan republik, bukan kekaisaran (imperium) dan bukan pula federasi, sebagian kalangan Muslim sendiri malah ada yang menyindir, bahwa kalau begitu, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang ‘bukan-bukan’. Sikap demikian wajar belaka mengingat: (1) Umat sudah lama hidup dalam sistem pemerintahan sekular; (2) Pendidikan politik di bangku-bangku akademis/lembaga pendidikan selalu hanya mengenalkan model-model pemerintahan tersebut—monarki, republik, imperium atau federasi—tanpa pernah memasukkan sistem Khilafah sebagai salah satu model pemerintahan di luar model mainstream tersebut; (3) Jauhnya generasi umat Islam saat ini dari akar sejarah masa lalu mereka, termasuk sejarah Kekhilafahan Islam yang amat panjang, lebih dari 13 abad.
Tulisan berikut, meski serba ringkas, ingin mengenalkan apa itu Khilafah. Tidak lain agar kita sedikit-banyak mengenal hakikat Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan Islam yang khas, yang berbeda dengan semua sistem pemerintahan di dunia saat ini.

Definisi Khilafah
1. Khilafah secara bahasa.
Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa, yang berarti: menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan posisinya (Al-Mu‘jam al-Wasîth, I/251. Lihat juga: Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, I/882-883)
Jadi, menurut bahasa, khalîfah adalah orang yang mengantikan orang sebelumnya. Jamaknya, khalâ’if atau khulafâ’. Inilah makna firman Allah Swt.:
وَقَالَ مُوسَى لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي
Berkata Musa kepada saudaranya, Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku.” (QS al-A’raf [7]: 142).
Menurut Imam ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a’zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, I/199).
2. Khilafah menurut syariah.
Kata khilâfah banyak dinyatakan dalam hadis, misalnya:
إنَّ أَوَّلَ دِيْنِكُمْ بَدَأَ نُبُوَّةً وَرَحْمَةً ثُمَّ يَكُوْنُ خِلاَفَةً وَرَحْمَةً ثُمَّ يَكُوْنُ مُلْكاً جَبَرِيَةً
Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu akan ada khilafah dan rahmat, kemudian akan ada kekuasaan yang tiranik. (HR al-Bazzar).
Kata khilâfah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan, pewaris pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw.:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُم الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
Dulu Bani Israel dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, nabi lain menggantikannya. Namun, tidak ada nabi setelahku, dan yang akan ada adalah para khalifah, yang berjumlah banyak. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi saw. dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226. Lihat juga: Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, IX/823).
Banyak sekali definisi tentang Khilafah—atau disebut juga dengan Imamah—yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.  Khilafah adalah kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah, I/8).
2.  Imamah (Khilafah) ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 3).
3.  Khilafah adalah pengembanan seluruh urusan umat sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka, baik ukhrawiyah maupun duniawiyah, yang kembali pada kemaslahatan ukhrawiyah (Ibn Khladun Al-Muqaddimah, hlm. 166 & 190).
4.  Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam, hlm. 15).
Dengan demikian, Khilafah (Imamah) dapat didefinisikan sebagai: kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Definisi inilah yang lebih tepat. Definisi inilah yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir (Lihat: Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, Qadhi an-Nabhani dan diperluas oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir, cet. VI [Mu’tamadah]. 2002 M/1422 H).

Khilafah vs Non-Khilafah

Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam (Khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasarinya; dari segi pemikiran, pemahaman, maqâyîs (standar), dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan; dari segi konstitusi dan undang-undangnya yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk pemerintahan yang ada di dunia ini.
Dalam buku yang dikeluarkan Hizbut Tahrir berjudul, Azhijah ad-Dawlah al-Khilâfah (Libanon: Beirut, 2005), perbedaan sistem pemerintahan Khilafah dengan non-Khilafah dijelaskan sebagai berikut.
1.  Khilafah bukan monarki (kerajaan).
Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan; umat tidak ada hubungannya dengan pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan. Baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat khalifah. Sistem kerajaan juga memberikan keistimewaan dan hak-hak khusus kepada raja yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari individu rakyat. Hal itu menjadikan raja berada di atas undang-undang. Raja tetap tidak tersentuh hukum meskipun ia berbuat buruk atau zalim. Sebaliknya, dalam sistem Khilafah, Khalifah tidak diberi keistimewaan yang menjadikannya berada di atas rakyat sebagaimana seorang raja. Khalifah juga tidak diberi hak-hak khusus yang mengistimewakannya—di hadapan pengadi-lan—dari individu-individu umat. Khalifah dipilih dan dibaiat oleh umat untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas mereka. Khalifah terikat dengan hukum-hukum syariah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat.
2.  Khilafah bukan kekaisaran (imperium).
Sistem imperium itu sangat jauh dari Islam. Sistem imperium tidak menyamakan pemerintahan di antara suku-suku di wilayah-wilayah dalam imperium. Sistem imperium memberikan keistimewaan kepada pemerin-tahan pusat imperium; baik dalam hal pemerintahan, harta, maupun perekonomian.
Sebaliknya, Islam menyamakan seluruh orang yang diperintah di seluruh wilayah negara. Islam menolak berbagai sentimen primordial (‘ashabiyât al-jinsiyyah Islam tidak menetapkan bagi seorang pun di antara rakyat di hadapan pengadilan—apapun mazhabnya—sejumlah hak istimewa yang tidak diberikan kepada orang lain, meskipun ia seorang Muslim.
Sistem pemerintahan Islam, dengan adanya kesetaraan ini, jelas berbeda dari imperium. Dengan sistem demikian, Islam tidak menjadikan berbagai wilayah kekuasaan dalam negara sebagai wilayah jajahan, bukan sebagai wilayah yang dieksploitasi, dan bukan pula sebagai “tambang” yang dikuras untuk kepentingan pusat saja. Islam menjadikan semua wilayah kekuasaan negara sebagai satu-kesatuan meskipun jaraknya saling berjauhan dan penduduknya berbeda-beda suku. Semua wilayah dianggap sebagai bagian integral dari tubuh negara.
3.  Khilafah bukan federasi.
Dalam sistem federasi, wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain dengan memiliki kemerdekaan sendiri, dan mereka dipersatukan dalam masalah pemerintahan (hukum) yang bersifat umum. Sebaliknya, Khilafah berbentuk kesatuan. Keuangan seluruh wilayah (propinsi) dianggap sebagai satu-kesatuan dan APBN-nya juga satu, yang dibelanjakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat tanpa memandang propinsinya. Seandainya suatu propinsi pemasukannya tidak mencukupi kebutuhannya, maka propinsi itu dibiayai sesuai dengan kebutuhannya, bukan menurut pemasukannya. Seandainya pemasukan suatu propinsi tidak mencukupi kebutuhannya maka hal itu tidak diperhatikan, tetapi akan dikeluarkan biaya dari APBN sesuai dengan kebutuhan propinsi itu, baik pemasukannya mencukupi kebutuhannya ataupun tidak.
4.  Khilafah bukan republik.
Sistem republik pertama kali tumbuh sebagai reaksi praktis terhadap penindasan sistem kerajaan (monarki). Kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat dalam apa yang disebut dengan demokrasi. Rakyatlah yang kemudian membuat undang-undang; yang menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela. Lalu pemerintahan berada di tangan presiden dan para menterinya dalam sistem republik presidentil dan di tangan kabinet dalam sistem republik parlementer.
Adapun dalam Islam, kewenangan untuk melakukan legislasi (menetapkan hukum) tidak di tangan rakyat, tetapi ada pada Allah. Tidak seorang pun selain Allah dibenarkan menentukan halal dan haram. Dalam Islam, menjadikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan kejahatan besar. (Lihat: QS at-Taubah [9]: 31).
Sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi ini, baik dari segi bahwa kekuasaan membuat hukum—menetapkan halal dan haram, terpuji dan tercela—ada di tangan rakyat maupun dari segi tidak adanya keterikatan dengan hukum-hukum syariah dengan dalih kebebasan. Ini jelas bertentangan dengan Islam yang menjadikan hak membuat hukum hanya ada pada Allah (QS Yusuf [10]: 40).
Atas dasar ini, sistem pemerintahan Islam (Khilafah) bukan sistem kerajaan, bukan imperium, bukan federasi, bukan republik, dan bukan pula sistem demokrasi sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Khilafah: Sisitem Pemerintahan Khas
Sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya. Struktur negara Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah setelah beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Negara Islam di sana. Struktur negara Khilafah adalah struktur yang telah dijalani oleh Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah saw. wafat.
Dengan penelitian dan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan dengan struktur negara itu, jelaslah bahwa struktur negara Khilafah adalah: 1. Khalifah; 2. Para Mu’âwin at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh); 3. Wuzarâ’ at-Tanfîdz; 4. Para Wali; 5. Amîr al-Jihâd; 6. Keamanan Dalam Negeri; 7.Urusan Luar Negeri; 8. Industri; 9. Peradilan; 10. Mashâlih an-Nâs (Departemen-departemen); 11. Baitul Mal; 12. Lembaga Informasi; 13. Majelis Umat (Syûrâ dan Muhâsabah).

Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Arief B. Iskandar]
sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2007/10/01/apa-itu-khlafah/
RATUSAN MUSLIMAH HIZB UT TAHRIR INDONESIA WILAYAH SULAWESI TENGGARA DALAM LIQO SYAWAL 9/10/2010
SEJAHTERAKAN INDONESIA DENGAN KHILAFAH.. KONFERENSI RAJAB AKAN DIADAKAN BESAR2 DI KOTA2 DI INDONESIA (KENDARI, 12 JUNI 2011 DILAPANGAN

Rabu, 28 Maret 2012

Strategi Kaum Imperialis Menghancurkan Islam














Imperialisme, sering kali diartikan sebagai sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar. Bagi Lenin, seorang tokoh Marxis, Imperialis secara singkat didefenisikan sebagai tahapan monopoli dari kapitalisme. Dari segi tujuan, Imperialisme merupakan penjajahan dengan cara membentuk pemerintahan jajahan kemudian dengan menanamkan pengaruh pada semua bidang kehidupan di daerah jajahan. Dengannya ketika kita melihat keadaan umat islam kini, maka tampak begitu jelas bahwa Imperialisme sedang berlangsung menimpa seluruh umat Islam di berbegai penjuru. Terlebih lagi apabila kita melihat realitas kancah global ini dari perspektif peperangan antara thogut (Pemimpin hukum kuffar) dan tauhid (Islam).
Berikut adalah apa yang tertulis dari sebuah kitab karya Syaikh Muhammad Al-Ghozali yang berjudul Miiatu Sualin ‘anil Islam. Syaikh Muhammad Al-Ghozali mebeberkan beberapa strategi kaum Imperialis yang menghancurkan Islam dari berbagai sisi bahkan hingga kini penghancuran masih terus berlangsung. Semoga apa yang kami sampaikan in bermanfaat bagi kita untuk melihat realitas perang salib modern yang terjadi.
~~~~~~~~~~~****~~~~~~~~~~

Berikut strategi menghancurkan Islam, umat, dan negaranya:
1. Setelah kaum Imperialis berhasil melemahkan kekuasaan kekhalifahan dan mampu mempersempit wilayah kekuasaannya, mereka mengadakan pukulan yang mematikan terhadap kekuasaan tersebut seusai Perang Dunia Pertama. Panji kekhilafahan digulung. Padahal, bagi kaum muslimin, kekhilafahan adalah lambang kepemimpinan, baik spiritual maupun peradaban, melambangkan kewibawaan dan loyalitas kaum muslimin terhadap agamanya, serta keteguhan memelihara kesatuan dan persaudaraan umum. Ketika kekuatan imperialisme menghapus kepemimpinan tradisional kaum muslimin, maka pada saat yang sama mereka menegakkan kepemimpinan tradisional agama-agama lain.
2. Kaum Imperialis telah mendirikan negara-negara baru dengan corak seperti yang mereka inginkan dan itu pun tanpa kekuasaan yang nyata. Agama yang pertama masuk di Afrika adalah agama Islam. Namun, di benua yang tak henti-hentinya didera derita -baik karena kondisi geografisnya maupun karena pergolaan politik- didirikan lebih dari 50 negara dengan cara menggabungkan mayoritas umat Islam dengan minoritas yang telah diciptakan oleh pihak misionaris. Kekuatan imperialis kemudian merekayasa dan menyerahkan kepemimpinan dan kekuasaan kepada kaum minoritas yang mendapatkan dukungan dan perlindungan penuh. Sementara itu, masyarakat muslim dibiarkan saja terus-menerus dilanda kebodohan, kemelaratan dan penyakit.
3. Kaum Imperialis tidak henti-hentinya membangkitan kembali nasionalisme sekular dan mengisyaratkan kepada pemimpin-pemimpinnya agar tidak menjadikan Islam sebagai agama negara dan menyingkirkannnya dari konstitusi negara.
4. Di negara-negara di mana kaum Imperialis mengalami kesulitan untuk membangkitkan semangat nasionalisme itu, mereka beralih cara dengan mematikan jiwa dan semangat Islam secara keseluruhan di bidang pengajaran dan perundang-undangan. Mereka menyebarkan informasi yang bias, pornografi dan melancarkan berbagai masalah dan peristiwa akan sekedar menyibukkan umat Islam dalam mengisi waktu luangnya, serta agar energi umat terbuang percuma. Dan untuk menyebarkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat.
5. Kaum Imperialis membuka jalan selebar-lebarnya bagi semua gerakan keagamaan yang menyimpang dari agama Islam. Mereka membiarkan gerakan itu berkiprah untuk menghimpun generasi yang bodoh dengan memberikan pemikiran-pemikiran yang dangkal dan argumentasi yang usang. Orang-orang beragama bodoh itu tanpa mereka sadari menjadi pmbantu utama bagi kaum Imperialis internasional dan merupakan jalan pintas untuk menghancurkan Islam dan umatnya.
6. Kaum Imperialis berusaha menghapus bidang pengajaran yang berdasarkan ajaran Islam dan mengangkat pemimpin-pemimpin yang picik dan sama sekali tidak menguntungkan Islam dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. Mereka juga berusaha menggusur peranan bahasa Arab di setiap bidang.
7. Kaum Imperialis berusaha mempertahankan keterbelakanagan umat Islam di bidang industri dan kebudayaan. Kaum muslimin dijadikan masyarakat konsumen, bukan produsen. Sehingga, bila sewaktu-waktu terjadi kebangkitan Islam, tidak akan ada suatu negara yang tertarik untuk membantu umat Islam atau menjanjikan kemajuan dan keberhasilan.

Menasihati, Menegur, dan Mengkritik Pemimpin Secara Terang-Terangan

Berikut ini adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh manusia mulia. Baik yang melakukannya di istana penguasa atau di tempat selain istana. Sekaligus paparan di bawah ini sebagai koreksi bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan menegur kesalahan penguasa secara terang-terangan.


Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu

Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah:
“ .... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)

Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)

 Inilah Umar bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak mengatakan: “Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah, seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan!” Tidak. Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut.  Jikalau wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini disebabkan karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka meralatnya pun dilakukan secara terbuka.

Metode ini juga dijalankan oleh para tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menasehati khalifah, atau gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.

Imam Ibnu Khaldun juga mengatakan tidak boleh dikatakan ‘memberontak’ bagi orang yang melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan contoh perlawanan Al Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al Husein adalah benar, ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh dia disebut bughat (memberontak/makar) sebab istilah memberontak hanya ada jika melawan pemimpin yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113) 

Berikutnya, ini adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin.

Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
               
Tentang kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:

 عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
               
 “Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): “Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)

Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Al Imam Sa’id bin Jubeir Rahiallahu ‘Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia tidak mengatakan: “Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata!” Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya khawarij.

Tentang Imam Sa’id bin Jubeir, berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:

 كان أعلمهم بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام طاووس، وأعلمهم بالطلاق سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه العلوم سعيد بن جبير

“Yang paling tahu tentang Al Quran adalah Mujahid, yang paling tahu tentang Haji adalah ‘Atha, yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Thawus, yang paling tahu tentang thalaq adalah Sa’id bin Al Musayyib, dan yang mampu mengkombinasikan semua ilmu-ilmu ini adalah Sa’id bin Jubeir.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 4/341. Muasasah Ar Risalah, Beirut)

 Sementara Ali Al Madini berkata:

ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير. قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس ولا أحد.
               
 “Di antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak ada yang seperti Sa’id bin Jubeir.” Ada yang berkata: “Tidak pula Thawus?” Ali Al Madini menjawab: “Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya.” (Ibid)

Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu  terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
                
Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.

Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi   berkata:

فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل

“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)

Demikianlah Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan: “Aku akan temui Al hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak demikian.

Siapakah Imam Amr Asy Sya’bi? Dia adalah Imam Fiqih dan hadits pada masa tabi’in.  Banyak sanjungan manusia kepadanya. Berkata Abu Usamah:

كان عمر في زمانه رأس الناس وهو جامع، وكان بعده ابن عباس في زمانه، وكان بعده الشعبي في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه، ثم كان بعده يحيى بن آدم


“Umar bin Al Khathab adalah pemimpin manusia pada zamannya, selanjutnya Ibnu Abbas adalah pemimpin manusia pada zamannya, lalu Asy Sya’bi pada zamannya, kemudian Sufyan Ats Tsauri pada masanya, lalu Yahya bin Adam pada masanya.” (Ibid, 4/302)

 Daud bin Abi Hindi berkata:

ما جالست أحدا أعلم من الشعبي.

“Belum pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu dibanding Asy Sya’bi.” (Ibid)

 Abu ‘Ashim bin Sulaiman berkata:

ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة والحجاز والآفاق من الشعبي

“Tidaklah aku melihat seorang pun yang lebih tahu tentang hadits di Kufah, Bashrah, Hijaz dan berbagai  penjuru, dibandingkan Asy Sya’bi.” (Ibid)

 Dan masih banyak sanjungan lainnya.


Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu terhadap Ibnu Hubairah 

 Beliau dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan penguasa yang zalim.  Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.

Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:

جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.

Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia mengambil hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)

Imam Adz Dzahabi mengatakan:

قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين

“Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
               
Inilah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman yang ada dalam istana, di depan banyak orang dan ulama.  Mereka seperti Al Hasan dan Asy Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata!” Tidak demikian.

Lagi pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas terhadap penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?

Siapakah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu? Pada masanya dia dikenal orang yang sangat wara’, ahli fiqih, ahli tafsir mimpi, dan periang.

Berikut ini parade pujian para ulama untuk Imam Ibnu Sirin Radhiallahu ‘Anhu. Sebagaimana yang dicatat oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab As Siyar-nya:

قال ابن عون: كان محمد يأتي بالحديث على حروفه، وكان الحسن صاحب معنى.
عون بن عمارة: حدثنا هشام، حدثني أصدق من أدركت، محمد بن سيرين.
قال حبيب بن الشهيد: كنت عند عمرو بن دينار فقال: والله ما رأيت مثل طاووس، فقال أيوب السختياني وكان جالسا: والله لو رأى محمد بن سيرين لم يقله.
معاذ بن معاذ: سمعت ابن عون يقول: ما رأيت مثل محمد بن سيرين.
وعن خليف بن عقبة، قال: كان ابن سيرين نسيج وحده.
وقال حماد بن زيد، عن عثمان البتي، قال: لم يكن بالبصرة أحد أعلم بالقضاء من ابن سيرين  .
وعن شعيب بن الحبحاب، قال: كان الشعبي يقول لنا: عليكم بذلك الاصم يعني ابن سيرين .
وقال ابن يونس: كان ابن سيرين أفطن من الحسن في أشياء

 “Berkata Ibnu ‘Aun: “Muhammad bin Sirin meriwayatkan hadits dengan huruf-hurufnya, sementara Al Hasan yang mengetahui maknanya.”
“Aun bin ‘Imarah, bercerita keada kami Hisyam, telah bercerita kepadaku bahwa orang yang paling jujur yang pernah aku temui adalah Muhammad bin Sirin.
Habib bin Asy Syahid berkata: Aku bersama Amr bin Dinar, dia berkata: “Demi Allah aku tidak pernah melihat orang seperti Thawus.” Maka, Ayyub As Sukhtiyani sambil duduk menimpali: “Demi Allah, seandainya dia melihat Muhammad bin Sirin, tidak akan dia berkata seperti itu.”
Muadz bin Muadz berkata, aku mendengar Ibnu ‘Aun berkata: “Aku belum pernah melihat orang semisal Muhammad bin Sirin.”
Dari Khalifah bin ‘Uqbah, dia berkata: “Adalah Ibnu Sirin dia menenun (pakaiannya) sendiri.”
Dari Hammad bin Zaid, dari Utsman  Al Bati: “Tidak pernah ada di Bashrah orang yang paling tahu tentang   kehakiman (hukum) dibanding Ibnu Sirin.”
Ibnu Yunus berkata: “Ibnu Sirin lebih cerdas dibanding Al Hasan Al Bashri di banyak hal.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/608)


Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi

Siapa yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah.  Berikut ini ceritanya,  sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani.

Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:

عطاء بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة.

’Atha  bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”

Sufyan berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.” Sufyan berkata: “Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan  mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’, 3/166. Mauqi’ Al Warraq)
                 
 Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya. Dia tidak mengatakan: “Biarkanlah dia, aku akan menasihatinya secara empa mata.” Tidak. Dia langsung menegurnya, walau di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah Imam Ahlus Sunnah.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
               
Selain seorang ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum muslimin. Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka.

Berkata Al Alusi tentang Imam Ibnu Taimiyah:
“Adapun keberanian dan jihadnya, maka suatu penjelasan apa pun  tidak dapat mencakupnya secara sempurna. Ia sebagaimana yang diceritakan Al Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh dalam Manaqib-nya adalah orang yang paling berani dan tegar hati menghadapi musuh. Aku belum pernah melihat manusia yang  keberaniannya  melebihi Ibnu Taimiyah dan semangat jihad melawan musuh melebihi semangatnya Ibnu Taimiyah. Ia selalu berjihad di dalan Allah dengan hati, lisan, dan tangannya dan tidak takut hinaan orang yang suka menghina dalam membela agama Allah Ta’ala.

Banyak orang menceritakan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah juga sering ikut  bersama pasukan Islam dalam peperangan melawan musuh. Apabila ia melihat pasukan yang gelisah  dan takut, maka ia memberikan semangat kepadanya, memantapkan hatinya, menjanjikan kemenangan dan ghanimah kepadanya, dan menjelaskan keutamaan jihad dan mujahidin.” (Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 796. Pustaka Al Kautsar)

Syaikh Ahmad Farid juga menceritakan keberanian Imam Ibnu Taimiyah di medan tempur:

“Seorang panglima perang mencertakan tentang perang Syaqhab. Ia mengatakan, “Syaikh Ibnu Taimiyah berkata kepadaku ketika dua pasukan sudah terlihat,”Wahai kamu, perlakukanlah aku seolah aku sudah mati.” Lalu aku membawanya (Ibnu Taimiyah) ke depan, sementara musuh-musuh sudah turun bak banjir yang mengalir dengan deras. Peralatan perang mereka terlihat di sela-sela debu yang berterbangan. 
Lalu, aku berkata kepadanya: Ini akan mengantarkanmu pada kematian. Batalkan keinginanmu itu!” Ia menengadahkan mukanya ke langit, meluruskan pandangannya, dan menggerakkan kedua bibirnya dalam waktu yang lama kemudian bangkit dan maju ke medan perang. Aku tidak melihatnya lagi sampai Allah memberikan kemenangan pada umat Islam yang berhasil masuk ke kota Damaskus.” (Ibid, Hal. 798-799)
               
 Imam Ibnu Rajab Al Hambali juga meceritakan tentang Imam Ibnu Taimiyah:

قدم إلى الشام هو وإخوته سنة اثنتي عشرة بنية الجهاد، لما قدم السلطان لكشف التتر عن الشام. فخرج مع الجيش، وفارقهم من عسقلان، وزار البيت المقدس.

“Beliau bersama saudaranya, dua belas tahun, datang ke Syam dengan niat berjihad, ketika datangnya sultan untuk mengusir Tartar dari Syam. Ibnu Taimiyah keluar bersama pasukan, dan berpisah dengan mereka dari Asqalan, dan berziarah ke Baitul Maqdis.” (Imam Ibnu Rajab, Dzail Thabaqat Al Hanabilah, 1/343. Mauqi’ Al Warraq)
               
Beliau juga sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim.  Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang berani dan secara terbukan kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid berkata:

“Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untk menyerang kaum musimin Damaskus.”
(Demikianlah rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:

“Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.”

(Inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya  menuju istana Sultan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Imam Ibnu Taimiyah tidak mengatakan: “Aku akan nasihati Sultan Ghazan secara empat mata.” Justru ia melakukannya bersama umat Islam secara terang-terangan.  Apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh Imam Ibnu Taimiyah, jika saat ini dia melihat ada sebuah negara muslim yang meminta pertolongan Amerika Serikat untuk menyerang kaum muslimin Iraq? Atau mengizinkan tentara kafir membuka pangkalan militer di negeri muslim agar mereka mudah mengendalikan negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan dan Raja Al Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin kolonialisme modern, AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam Ibnu taimiyah!)

Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid mengatakan:

“Tatkala Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan  Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.

Kesempatan tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah mslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.”  (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)


Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah

Beliau dijuluki Shulthanul ‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya.  Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya dan dihadapan banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.

Kami akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:

Syaikh Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh kami, Izzuddin pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di Qal’ah (benteng Shalahuddin).

Di sana ia menyaksikan para prajurit yang berbaris di depan Sultan Najmuddin dan dewan kerajaan saat itu. Suasana kerajaan saat itu sangat megah. Sultan Najmuddin keluar kepada mereka dengan memakai perhiasan sebagaimana adat para Sultan di Mesir. Para pejabat saat itu pun sujud mencium tanah di depan sang Sultan.

Melihat peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin dan berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan Allah ketika Dia berkata kepadamu,”Aku telah berikan kerajaan Mesir kepadamu lalu kamu memperbolehkan khamr!” Sultan Najmuddin Ayyub berkata, “Apakah ini terjadi?” Syaikh Izzuddin menjawab, “Ya, di toko seorang perempuan telah dijual minuman khamr dan hal-hal lain yang munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan kerajaan ini.”

Syaikh Izzuddin memanggilnya (sultan) dengan suara sangat keras, sementara itu para prajuritnya membisu dan keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai Tuanku, itu bukan perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh Izzuddin berkata: “Kamu termasuk golongan orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43): 22)
Lalu Sultan Ayyub merencanakan memusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)

Inilah Imam  ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik sultan di depan banyak manusia, dan hal itu efektif sebagai presure (tekanan) agar sultan mau menerima nasihatnya.

Bahkan, lebih berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa para sultan saat itu masih terjerat hukum perbudakan sehingga para sultan adalah milik baitul mal kaum muslimin. Para sultan ini boleh dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hingga wakil sultan marah dan berkata: “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan ingin menjual kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan penggal kepalanya!”

Namun yang terjadi ketika wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam, justru pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam Izzuudin. Wakil sultan  berkata: “Wahai Tuanku, apa yang kau inginkan?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Aku memanggil dan menjual kalian.” Wakil sultan bertanya: “Untuk apa kau menjual kami?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Demi kemaslahatan umat Islam.” Wakil sultan bertanya lagi: “Siapa yang menerimanya?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Akulah yang menerimanya.” Lalu para pejabat pemerintah dipanggil satu persatu dan dijual dengan harga mahal. Hasil penjualan mereka digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.” (Ibid, Hal. 749-750)

Ada peristiwa yang mirip dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki menceritakan tentang penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail, panggilannya Abu Al Khaisy. Dia berkolaborasi dengan pasukan Eropa untuk menyerahkan kota Shida dan beneng Asy Syaqif kepada Eropa. Tindaka ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia tidak mendoakannya dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau ditemani oleh Abu Amr bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah membaut sultan marah. (Ibid, Hal. 750)

Inilah Al Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah bermadzhab syafi’i. Imam Ad Dzahabi menyebutnya sebagai seorang yang sudah taraf mujtahid, dan Imam As Suyuhi juga menyebukan di akhir hayatnya dia tidak lagi terika madzhab, sudah berfatwa dengan fatwanya sendiri.

Demikianlah. Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, bukanlah hal yang tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini adalah perbuatan mulia  yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Menasihati pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat dari sisi benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya yang lebih tepat guna dan efektif dalam merubah penyimpangan penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian dan analisa. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari rakyatnya, ada juga yang sudah bisa berubah walau di nasihati oleh orang terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan kejelian sangat diperlukan dalam memutuskan masalah ini.

Dan, yang jelas tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa menasihati pemimpin secara terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang amat jauh. Tidak pantas menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang satu berdosa, dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pla hal itu  disamakan dengan keluarnya kaum khawarij terhadap pemerintahan Ali. Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau pemimpin yang zalim, bukan pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.

وعامتهم : dan orang-orang umumnya

Imam An Nawawi Rahimahullah  menjelaskan:

وَأَمَّا نَصِيحَة عَامَّة الْمُسْلِمِينَ وَهُمْ مَنْ عَدَا وُلَاة الْأَمْر فَإِرْشَادهمْ لِمَصَالِحِهِمْ فِي آخِرَتهمْ وَدُنْيَاهُمْ ، وَكَفّ الْأَذَى عَنْهُمْ فَيُعَلِّمهُمْ مَا يَجْهَلُونَهُ مِنْ دِينهمْ ، وَيُعِينهُمْ عَلَيْهِ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْل ، وَسِتْر عَوْرَاتهمْ ، وَسَدّ خَلَّاتهمْ ، وَدَفْع الْمَضَارّ عَنْهُمْ ، وَجَلْب الْمَنَافِع لَهُمْ ، وَأَمْرهمْ بِالْمَعْرُوفِ ، وَنَهْيهمْ عَنْ الْمُنْكَر بِرِفْقٍ وَإِخْلَاصٍ ، وَالشَّفَقَة عَلَيْهِمْ ، وَتَوْقِير كَبِيرهمْ ، وَرَحْمَة صَغِيرهمْ ، وَتَخَوُّلهمْ بِالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَة ، وَتَرْك غِشِّهِمْ وَحَسَدِهِمْ ، وَأَنْ يُحِبَّ لَهُمْ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنْ الْخَيْر ، وَيَكْرَه لَهُمْ مَا يَكْرَه لِنَفْسِهِ مِنْ الْمَكْرُوه ، وَالذَّبّ عَنْ أَمْوَالهمْ وَأَعْرَاضهمْ ، وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ أَحْوَالهمْ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْل ، وَحَثّهمْ عَلَى التَّخَلُّق بِجَمِيعِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنْوَاع النَّصِيحَة ، وَتَنْشِيط هَمِّهِمْ إِلَى الطَّاعَات .  

“Ada pun nasihat bagi umumnya kaum muslimin, dan mereka adalah  selain para pemimpin, yakni:

- dengan membimbing mereka untuk mendapatkan kebaikan baik dunia dan akhirat,
-menahan diri untuk menyakiti mereka,
-mengajarkan mereka apa-apa yang mereka tidak tahu dari perkara agama,
-menolong mereka dengan ucapan dan perbuatan,
-menutupi aurat mereka,
- memenuhi kekosongan mereka,
-mencegah kerusakan bagi mereka,
-memberikan manfaat untuk mereka, memerintahkan kepada kebaikan,
- mencegah mereka dari kemungkaran dengan lembut dan ikhlas,
-menyayangi mereka, menghormati yang tua, menyayangi yang muda,
- memperhatikan mereka dengan mauizhah hasanah,
- tidak menipu dan dengki,
- mencintai untuk mereka apa-apa yang  dia cintai  berupa kebaikan,
- membenci untuk mereka apa yang dia benci berupa hal yang dibenci,
-melindungi harta dan kehormatan mereka,
-selain hal itu melindungi  keadaan mereka baik dengan ucapan dan perbuatan,
-dan menganjurkan mereka dengan akhlak yang telah kami sebutkan yang merupakan bagian dari jenis nasihat, dan membangkitkan hasrat mereka kepada ketaatan.    (Al Minhaj, 1/144)

Wallahu'alam


Referensi kedua : http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/99

Minggu, 25 Maret 2012

Sepuluh Kata "Pasti" Yg Harus jadi Perhatian Seorang Muslimah Atas Diri Seorang Laki-Laki Yang Ingin Dijadikannya Sebagai Suami.

Nasehat Untuk Para Wanita Muslimah

Sepuluh kata “Pasti” yang harus jadi pilihan untuk seorang wanita muslimah atas diri seorang laki-laki yang ingin di jadikannya sebagai seorang suami dan imam yang akan membawa mereka pada kebahagiaan dunia maupun akhirat.
1.Laki-laki yang “Pasti iman,ketaqwaan dan kecintaannya pada ALLAH SWT”
  Alasan : seorang laki laki yang beriman,bertaqwa dan sangat mencintai Robnya,pasti dapat  membentuk   dan membina istrinya menjadi wanita soleha yang mencintai dan di cintai oleh ALLAH Robnya.
2.Laki-laki yang “Pasti Amanah dan Bertanggung Jawab”
Alasan : seorang laki laki yg begitu amanah dan bertanggung jawab pasti tak kan berbuat hal yang sia-sia,mengabaikan dan tak setia terhadap istrinya.
3.Laki-laki yang “Pasti Jujurnya”
Alasan: karena seorang laki-laki yang jujur pasti takkan berbuat khianat terhadap kepercayaan dan rasa cinta dari istrinya.
4.    Laki-laki yang “Pasti sabar dan ikhlasnya”
Alasan : laki laki yang dapat berlaku sabar dan ikhlas terhadap istrinya,pasti akan dapat menjaga dan mengendalikan Amarah ketika ia melihat ada sesuatu hal yang tidak disukainya dari perangai istrinya.
5.    Laki-laki yang “Pasti Wibawanya”
Alasan : seorang laki-laki yang berwibawa dan berkarakter pasti dapat melindungi, kesucian,harkat,martabat dan kemuliaan istrinya dengan gagah berani dari setiap hal yg dapat mengancam istrinya.
6.Laki-laki yang “Pasti memiliki keteguhan dan tekad yang kuat”
Alasan : setiap laki-laki yang teguh dalam setiap tekad dan sikapnya pasti akan dapat menafkahi dan memberi kebahagiaan bagi istri dan anak-anaknya walau di tengah kepahitan dan terjangan badai kehidupan yang tidak kecil.
7.Laki-laki yang “Pasti Kedewasaannya”
Alasan: seorang laki-laki yang jelas kedewasaannya pasti akan dapat berlaku arif dan bijaksana,disaat istrinya ingin dalam keadaan bermanja,merajuk,gusar,tidak suka dan bahkan marah terhadap dirinya.
8.Laki-laki yang “Pasti rasa Cinta,kasih dan sayangnya”
Alasan : seorang laki-laki yang sudah pasti begitu mencintai dan berkasih sayang terhadap istrinya,pasti siap untuk berkorban sesuatu hal yang amat besar dalam hidupnya demi kebahagiaan sang istri.
9.Laki-laki yang “Pasti lembut setiap sikap dan tutur katanya”
Alasan : seorang laki-laki yang memiliki kelembutan dan kehalusan dari setiap sikap dan tutur bahasanya,niscaya takkan satu pun yang terlahir dari setiap sikap dan lisannya akan dapat membuat istri yang di cintainya merasa tersakiti oleh karena sikap dan lisannya.

10.Laki-laki yang “Pasti Tegas dan Berani” dengan tegurannya terhadap istrinya.
Alasan: seorang laki-laki yang berani dan tegas dalam tegurannya,pasti takkan membiarkan istri yang di cintainya jatuh dan tenggelam dalam jurang dosa,kesalahan dan kealpaan diri yang tak disadarinya. Catatan : sikap tegas dan berani yang saya maksud disini tentu bukanlah dengan cara-cara kasar dan menyakiti hati istrinya,tapi dengan cara-cara “Bilhikmah dan Bijaksana”.

Catatan Khusus : dari sepuluh uraian diatas hanya ada dua ke pastian yang tidak ana muat yakni : kepastian Kantong (Duit seorang laki2) dan ketampanannya. Alasanya krna menurut ana yg di butuhkan seorang wanita di zaman sekarang bukanlah hal itu,sebab kl ketampanan tu sifatnya relative siapa yang memandang,sedangkan soal harta semua itu adalah rizki yang berada dan menjadi urusan ALLAH dan soal rizki tergantung pada apakah kita mau berikhtiar atau tidak.
       
By : Hamdani Firdaus

Minggu, 18 Maret 2012

Sejarah Runtuhnya Khilafah

Pada hari Senin tanggal 3 Maret 1924 (28th Rajab 1342AH), dunia dikejutkan oleh berita bahwa Mustafa Kemal di Turki secara resmi telah menghapus Khilafah. Pada malam itu Abdul Majid II, Khalifah terakhir kaum muslimin, dipaksa untuk mengemas kopernya yang berisi pakaian dan uang ke dalam kendaraan nya dan diasingkan dari Turki, dan tidak pernah kembali. Dengan cara itulah pemerintahan Islam yang berusia 1342 tahun berakhir. Kisah berikut adalah sekelumit sejarah dari tindakan-tindakan kekuatan kolonialis dengan pertama kali menyebarkan benih perpecahan diantara kaum muslimin dengan menanamkan nasionalisme dan akhirnya mengatur penghancuran Daulah Khilafah melalui agen-agen pengkhianatnya.
Beberapa bulan setelah penghancuran Khilafah tanggal 24 Juli 1924, kemerdekaan Turki secara resmi diakui dengan penandatanganan Traktat Lausanne. Inggris dan sekutu-sekutunya menarik semua pasukannya dari Turki yang ditempatkan sejak akhir PD I. Sebagai reaksi dari hal ini, dilakukan protes pada Menlu Lord Curzon di House of Common karena Inggris mengakui kemerdekaan Turki. Lord Currzon menjawab,” Situasinya sekarang adalah Turki telah mati dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya, khilafah dan islam.
Sebagaimana diakui oleh Lord Curzon, Inggris bersama dengan Perancis memainkan peran penting dalam membagi-bagi tanah kaum muslimin diantara mereka. Rencana mereka melawan Khilafah bukanlah karena Khilafah berpihak pada Jerman pada PD I. Rencana ini telah dibuat ratusan tahun yang lalu yang akhirnya berbuah ketika Khilafah Usmani dengan cepat mulai merosot di pertengahan abad ke 18.
Usaha yang pertama untuk menghancurkan persatuan Islam terjadi pada abad ke 11 ketika Paus Urbanus II melancarkan Perang Salib I untuk menduduki Al-Quds. Setelah 200 tahun pendudukan, akhirnya pasukan salib dikalahkan di tangan Salahudin Ayyubi. Di abad ke 15 Konstantinopel ditaklukan dan benteng terakhir Kekaisaran Byzantium itupun dikalahkan. Lalu pada abad ke 16 Daulah Islam menyapu seluruh bagian selatan dan timur Eropa dengan membawa Islam kepada bangsa-bangsa itu. Akibatnya jutaan orang Albania, Yugoslavia, Bulgaria dan negara-negara lain memeluk Islam. Setelah pengepungan Wina tahun 1529 Eropa membentuk Aliansi untuk menghentikan expansi Khilafah di Eropa. Pada titik itulah terlihat bangkitnya permusuhan pasukan Salib terhadap Islam dan Khilafah, dan dibuatlah rencana-rencana berkaitan dengan “Masalah Ketimuran” seperti yang sudah diketahui.
Count Henri Decastri, seorang pengarang Perancis menulis dalam bukunya yang berjudul “Islam” tahun 1896: “Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan oleh kaum muslimin jika mereka mendengar cerita-cerita di abad pertengahan dan mengerti apa yang biasa dikatakan oleh ahli pidato Kristen dalam hymne-hymne mereka; semua hymne kami bahkan hymne yang muncul sebelum abad ke 12 berasal dari konsep yang merupakan akibat dari Perang Salib, hymne-hymne itu dipenuhi oleh kebencian kepada kaum muslimin dikarenakan ketidakpedulian mereka terhadap agamanya. Akibat dari hymne dan nyanyian itu, kebencian terhadap agama itu tertancap di benak mereka, dan kekeliruan ide menjadi berakar, yang beberapa diantaranya masih terbawa hingga saat ini. Tiap orang menganggap muslim sebagai orang musyrik, tidak beriman, pemuja berhala dan murtad.”
Setelah kekalahan mereka, pasukan Salib menyadari bahwa kekuatan Islam dan keyakinannya adalah Akidah Islam. Sepanjang kaum muslimin berkomitmen dengan kuat pada Islam dan Qur’an, Khilafah tidak akan pernah hancur. Inilah sebabnya di akhir abad ke 16, mereka mendirikan pusat misionaris pertama di Malta dan membuat markasnya untuk melancarkan serangan misionarisnya terhadap Dunia Islam. Inilah awal masuknya kebudayaan Barat ke Dunia Islam yang dilakukan para misionaris Inggris, Perancis dan Amerika.
Para misionaris itu bekerja dengan berkedok lembaga-lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan. Awalnya akibat dari tindakan itu hanya kecil saja. Tapi selama abad ke 18 dan 19 ketika kemunduran Khilafah mulai muncul, mereka mampu mengeksplotasi kelemahan negara dan menyebarkan konsep-konsep yang jahat kepada masyarakat. Di abad 19, Beirut menjadi pusat aktivitas misionaris. Selama masa itu, para misionaris mengeksploitasi perselisihan dalam negeri diantara orang Kristen dan Druze dan kemudian antara Kristen dan Muslim, dengan Inggris berpihak pada Druze sementara Perancis berpihak pada Kristen Maronit. Selama masa itu para misionaris itu memiliki dua agenda utama: (1) Memisahkan Orang Arab dari Khilafah Usmani; (2)  Membuat kaum muslimin merasa terasing dari ikatan Islam
Tahun 1875 “Persekutuan Rahasia” dibentuk di Beirut dalam usaha untuk mendorong nasionalisme Arab diantara rakyat. Melalui pernyataan-pernyataan dan selebaran-selebaran, persekutuan itu menyerukan kemerdekaan politik orang Arab, khususnya mereka yang tinggal di Syria dan Libanon. Dalam literaturnya, mereka berulangkali menuduh Turki merebut Khilafah Islam dari orang Arab, melanggar Syariah, dan , mengkhianati Agama Islam.
Hal ini memunculkan benih-benih nasionalisme yang akhirnya berbuah pada tahun 1916 ketika Inggris memerintahkan seorang agennya Sharif Hussein dari Mekkah untuk melancarkan Pemberontakan Arab terhadap Khilafah Usmani. Pemberontakan ini sukses dalam membagi tanah Arab dari Khilafah dan kemudian menempatkan tanah itu di bawah mandat Inggris dan Perancis.
Di saat yang sama, nasionalisme mulai dikobarkan diantara orang Turki. Gerakan Turki Muda didirikan tahun 1889 berdasarkan nasionalisme Turki dan dapat berkuasa tahun 1908 setelah mengusir Khalifah Abdul Hamid II. Pengkhianat Mustafa Kamal yang menghapus Kekhalifahan adalah anggota Turki Muda. Inilah alasanya mengapa Kemal kemudian berkata: ”Bukankah karena Khilafah, Islam dan ulama yang menyebabkan para petani Turki berperang hingga mati selama lima abad? Sudah waktunya Turki mengurus urusannya sendiri dan mengabaikan orang India dan orang Arab. Turki harus melepaskan dirinya untuk memimpin kaum muslimin.”
Disamping aktivitas yang dilakukan oleh misionaris Inggris dan Perancis, bersama dengan Rusia mulai dilakukan penjajahan langsung di banyak bagian Dunia Islam. Ini dimulai selama pertengahan abad 18 ketika tahun 1768 Catherine II dari Rusia berperang dengan Khilafah dan dengan sukses dapat menduduki wilayah di Selatan Ukraina, Kaukasus Utara, dan Crimea yang kemudian dijadikan bagian dari Kekaisaran Rusia. Perancis menyerang Mesir dan Inggris mulai menduduki India. Di Abad ke 19 Perancis menduduki Afrika Utara dan Inggris menduduki Mesir, Sudan, dan India. Sedikit demi sedikit wilayah Khilafah menjadi berkurang hingga akhir PD I ketika apa yang tersisa hanyalah Turki, yang diduduki oleh pasukan sekutu dibawah perintah Jendral Inggris yang bernama Charles Harrington.
Pemecahan tanah Khilafah dilakukan dalam sebuah perjanjian rahasia yang dilakukan antara Inggris dan Perancis tahun 1916. Perjanjian itu adalah Perjanjian Sykes-Picot. Rencana ini dibuat diantara diplomat Perancis bernama François Georges-Picot dan penasehat diplomat Inggris Mark Sykes. Di bawah perjanjian itu, Inggris mendapat kontrol atas Jordania, Irak dan wilayah kecil di sekitar Haifa. Perancis diberikan kontrol atas Turki wilayah Selatan-Timur, Irak bagian Utara, Syria dan Libanon. Kekuatan Barat itu bebas memutuskan garis perbatasan di dalam wilayah Khilafah itu. Peta Timur Tengah saat ini adalah garis-garis yang dibuat Sykes dan Picot dengan memakai sebuah penggaris di atas tanah yang dulunya adalah wilayah Khilafah.
Tahun-tahun berlanjutnya kehancuran Khilafah, Inggris memainkan peranan kunci dengan cara memelihara agennya Mustafa Kamal. Melalui sejumlah maneuver politik dengan bantuan Inggris, Mustafa Kamal mampu menjadikan dirinya berkuasa di Turki. Tahun 1922, Konperensi Lausanne diorganisir oleh Menlu Inggris Lord Curzon untuk mendiskusikan kemerdekaan Turki. Turki pada saat itu adalah di bawah pendudukan pasukan sekutu dengan institusi Khilafah yang hanya tinggal nama. Selama konperensi itu Lord Curzon menetapkan empat kondisi sebelum mengakui kemerdekaan Turki. Kondisi-kondisi itu adalah: (1) Penghapusan total Khilafah : (2) Pengusiran Khalifah ke luar perbatasan; (3) Perampasan asset-aset Khilafah : (4) Pernyataan bahwa Turki menjadi sebuah Negara Sekuler
Suksesnya Konperensi itu terletak pada pemenuhan keempat kondisi itu. Namun, dengan tekanan asing yang sedemikian itupun, banyak kaum muslimin di dalam negeri Turki masih mengharapkan Khilafah, yang telah melayani Islam sedemikan baiknya selama beberapa abad dan tidak pernah terbayangkan bahwa Khilafah bisa terhapus. Karena itu, Lurd Curzon gagal untuk memastikan kondisi-kondisi ini dan konperensi itu berakhir dengan kegagalan. Namun, dengan liciknya Lord Curzon atas nama Inggris tidak menyerah. Pada tanggal 3 Maret 1924 Mustafa Kemal memakai kekuatan bersenjata dan menteror lawan-lawan politiknya sehingga mampu menekan melalui Undang-undang Penghapusan Khilafah yang memungkingkan terhapusnya institusi Khilafah.
Untuk kekuatan kolonialis, penghancuran Khilafah tidaklah cukup. Mereka ingin memastikan bahwa Khilafah tidak pernah bangkit lagi dalam diri kaum Muslimin. Lord Curzon berkata, “Kita harus mengakhiri apapun yang akan membawa persatuan Islam diantara anak-anak kaum muslimin. Sebagaimana yang kita telah sukses laksanakan dalam mengakhiri Khilafah, maka kita harus memastikan bahwa tidak pernah ada lagi bangkitnya persatuan kaum muslimin, apakah itu persatuan intelektual dan budaya.”
Karena itu, mereka meberikan sejumlah rintangan dalam usaha menegakkan kembali Khilafah seperti:
  1. Pengenalan konsep-konsep non-Islam di Dunia Islam seperti patriotisme, nasionalisme, sosialisme dan sekularisme dan mendorong gerakan politik kolonialis yang berdasarkan ide-ide ini.
  2. Kehadiran kurikulum pendidikan yang dibuat oleh kekuatan penjajah , yang masih tetap bercokol selama 80 tahun, yang membuat mayoritas kaum muda yang lulus dan ingin meneruskan pendidikannya ke arah yang bertentangan dengan Islam.
  3. Jeratan ekonomi di Dunia Islam oleh pemerintahan Barat dan perusahaan-perusahaannya dimana masyarakat hidup dalam kemiskinan yang menghinakan dan dipaksa untuk terfokus hanya pada bagaimana menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya dan tidak peduli dengan peran sesungguhnya dari para penjajah itu.
  4. Warisan yang disengaja untuk memecah Dunia Islam yang berkisar pada garis perbatasan yang senantiasa diperdebatkan sehingga kaum muslimin akan tetap terlibat dalam masalah-masalah sepele.
  5. Pendirian organisasi-organisasi seperti Liga Arab dan kemudian Organisasi Konperensi Islam (OKI) yang menipiskan ikatan Islam, dan terus melanjutkan adanya perpecahan di Dunia Islam sementara tetap gagal dalam memecahkan tiap masalah atau isu yang muncul.
  6. Pemaksaan berdirinya Negara asing, Israel, di jantung Dunia Islam yang menjadi pemicu serangan kekuatan Barat atas kaum muslimin yang tidak bisa mempertahankan diri sementara mereka terus menghidupkan mitos rasa rendah diri kaum muslimin.
  7. Kehadiran penguasa-penguasa zalim di Dunia Islam yang kesetiaanya adalah pada tuannya yakni negara-negara Barat; yang menindas dan menyiksa umat Islam; mereka bukanlah dari umat dan membenci umat sebagaimana umat membenci mereka.
Walaupun ada rintangan-rintangan, persengkongkolan dan rencana semacam itu, pendirian Khilafah sekali lagi akan menjadi kenyataan dalam Dunia Islam. Kita harus mengambil kesempatan ini di saat hari peringatan kehancuran Khilafah untuk merefleksikan situasi saat ini dari kaum muslimin dan memastikan bahwa hanya dengan berusaha untuk mengembalikan Khilafah lah kita dapat mencapat kesuksesan yang sesungguhnya dalam kehidupan saat ini dan kehidupan yang akan datang.
(Riza Aulia ; sumber www.Khilafah.com)
Dikutip dari: HTI Online

Rabu, 07 Maret 2012


Saturday, February 25th, 2012 | Author: Felix Siauw
01. mengapa ramai hastag #IndonesiaTanpaJIL? semua itu wajar mengingat mudharat besar yg dihasilkan kelompok ‘kaki-tangan’ barat ini
02. mulai dari membolehkan homoseksual, penolakan terhadap syariat Islam dan pembenaran untuk mengumbar aurat mereka dakwahkan
03. sampai ke penghalalan nikah beda agama, penghinaan terhadap kerasulan Muhammad saw, gugatan atas keaslian Al-Qur’an mereka gencarkan
04. maka wajar ummat Islam menolak liberalisme, bagaikan menggunting dalam lipatan, mereka menamakan diri Islam dan mempropagandakan barat
05. ditilik dari segi sejarah, kemunculan kaum liberal (JIL) di indonesia sangat terkait dengan gerakan liberal di dunia Islam umumnya
06. pada abad ke 17, saat Khilafah Utsmani sudah melemah, misionaris kristen mulai melaksanakan aksi mereka di beirut libanon lwt pendidikan
07. tugas mereka jelas, membuat kaum Muslim ragu dengan agamanya sendiri dan mempertanyakan keabsahan agama mereka
08. pada abad 18-19, seiring kebangkitan dunia barat karena meninggalkan kristen sebagai agama, masalah liberalisme kaum Muslim juga dimulai
09. beberapa tokoh barat bersepakat bahwa masuknya Napoleon ke Mesir pada 1798 adl inisiasi awal dari pemikiran liberal di dunia Muslim
10. saat itu, ummat shock menyaksikan kebangkitan barat dan bersamaan dengannya melemahnya Khilafah Islam, dan mulai bertanya-tanya
11. “apa yang membuat barat bangkit?” dan “yang membuat Islam lemah?”, begitulah yang dipikirkan ilmuwan2 Islam saat saksikan majunya barat
12. “apakah kita lemah dan barat kuat karena cara pikir barat lebih baik dari cara pikir kita?” begitulah syaitan menyusup lewat akal
13. maka saat itu pemikir2 Islam banyak merapat ke barat, membuka dialog, mengapa “barat maju sementara Islam melemah”
14. tanpa kaum Muslim sadari, melemahnya Khilafah saat itu sesungguhnya karena melemahnya pemikiran Islam, bukan karena pemikiran Islam
15. saat itu bahasa arab telah melemah penggunaannya, filsafat persia dan yunani pun merusak pemikiran, belum lagi ijtihad yg tak dilakukan
16. namun sebagaimana jebakan barat, kaum Muslim mulai diperkenalkan dengan cara pikir barat yg liberalis, derivat dari sekulerisme
17. “memisahkan antara agama dan negara”, “menolak otorisasi kelompok tertentu menafsirkan dalil” itu kampanye barat pada Islam
18. barat via prancis, inggris dan amerika berusaha mengenakan paham yg membangkitkan mereka pada kaum Muslim, yaitu “meninggalkan agama”
19. barat sangat sadar, adanya Khilafah menutup jalan bagi mereka untuk menguasai Muslim, karena itu liberalisasi agama jadi jawaban
20. maka melalui upaya liberalisasi agama, barat berusaha menanamkan bahwa modernisasi adalah meninggalkan agama sebagai dasar pikir
21. liberalisasi agama ini mendapatkan sambutan, khususnya dari misionaris kristen dan cendekiawan Islam yang disekolahkan keluar negeri
22. generasi awal (1830-1870) liberalis tmsk Rifa’ah Rafi Al-Tahtawi, menimba liberalism di Prancis dan membawa pendidikan sekuler ke Mesir
23. pula tokoh kristen Butrus al-Bustani yg menyebarkan pemikiran cabang liberalisme yaitu nasionalisme arab, utk memisahkan dr Khilafah
24. generasi kedua (1870 – 1900) dari mereka lebih berani, kali ini kaum liberal menggugat bahwa Al-Qur’an dan Islam adl agama bias gender
25. Maka muncullah perusak Islam lainnya, liberalis generasi kedua yaitu Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani guru-murid pengusung liberal
26. banyak ummat Muslim menyangka mereka adalah ulama pembaharu Islam, pada hakikatnya mereka ini adalah pengkhianat yg menjual Islam
27. khusus Jamaluddin ini, Khalifah Abdul Hamid II dlm catatan hariannya pernah mengatakan dia layaknya “pelawak” kaki tangan Inggris
28. setelah pan-arabisme (nasionalisme arab) yg diusung Jamaluddin gagal, ia malah meminta lindungan pada tentara kafir, begitulah “pelawak”
29. gerakan liberalisme generasi kedua ini tampil lebih vulgar, mulai mengusung pemakzulan Khilafah, sebagaimana diinginkan majikan baratnya
30. ide liberalisasi agama dalam bentuk penolakan terhadap syariat dalam bingkai Khilafah ini mengkristalisasi pada generasi liberalis ketiga
31. generasi ketiga ini merentang 1900 – 1939, dengan tokohnya spt Muhammad Rasyid Ridha, Ali Abdur Raziq dan Thaha Husain
32. gugatan mereka terhadap Khilafah, juga dibarengi dengan meniupkan benih nasionalisme pada pemuda Arab, Turki, dan lainnya
33. Nasionalisme inilah kelak memberi ruh pada gerakan revolusi arab dan gerakan turki muda, yang berujung pada runtuhnya Khilafah di 1924
34. Nah, generasi liberal ketiga inilah yang banyak direspons oleh dunia Islam, termasuk Indonesia yang terpengaruh dengan pemiran liberal
35. da’i liberal semacam Muhammad Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid, Rasyid Ridha dll, mulai mewarnai pemikir-pemikir Indonesia
36. adalah Muhammad Tahir Djalaluddin, murid Muhammad Abduh yg ‘berjasa’ menyebarkan liberalisme di nusantara dan ranah melayu
37. sesampai dari mesir, ia menyebarkan pemikiran Muhamamd Abduh dan Jamaluddin al-Afghani tentang liberalisme di majalah al-Imam
38. tema sentral majalah al-Imam ini adalah feminisme, kebebasan berpendapat (walau tak sesuai syariat) dan tema liberal yg lain
39. Pada 1970-an, gerakan liberal ini menemukan relungnya di indonesia lewat Nurcholish Majid, sesepuh liberal di Indonesia
40. Nurcholish Majid mewarisi liberalisme dari Fazlur Rahman, dosennya di Chicago yg mengusung tafsir ‘kontekstual’ bukan ‘tekstual
41. Tafsir kontekstual ini menyatakan bahwa dalil Qur’an bukan dilihat secara teks kata2, tapi maknanya (konteks) saja sudah cukup
42. Misal, menutup aurat maknanya adl menjaga kehormatan n melindungi diri, jadi bila sudah terhormat dan terlindung, tak perlu tutup aurat
43. Nurcholish misalnya menyatakan “Tiada tuhan (t kecil) kecuali Tuhan (T besar)” dan mengajarkan bahwa semua agama itu benar
44. menjelang 1970-an, gerbong liberalisme bertambah panjang dengan daftar nama Harun Nasution, Abdurrahman Wahid dan Munawir Sjadzali
45. mereka miliki kesamaan, yaitu kekaguman atas Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Rasyid Ridha dan pemikir liberal lainnya
46. saat itu, tak ayal lagi, pemikiran liberal mulai menyusup pada cendekiawan NU dan Muhammadiyah, khususnya para santri muda mereka
47. maka pada 2001, digalang Ulil Abshar, Gonawan Moehammad dibentuklah JIL untuk satukan seluruh organisasi bernafas liberal di Indonesia
48. dalam situs islamlib.com dinyatakan, lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya “ekstremisme” dan “fundamentalisme” agama di Indonesia
49. intinya gerakan JIL adl membuat ummat berpaling dari Islam memanfaatkan isu “ekstremisme”, “fundamentalisme” n “radikalisme”
50. mereka menggugat Al-Qur’an dan Rasul, menyalahkan ahli tafsir dan ulama terdahulu, serta menafsirkan ayat sebatas batok kepala mereka
51. Ulil Abshar Abdalla misalnya menyatakan “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.”
52. Sumanto al-Qurthuby menulis “hakekat Al-Qur’an bukanlah ‘teks verbal’ yg 6666 ayat bikinan Utsman itu melainkan gumpalan2 gagasan.”
53. Luthfi Assyaukani “Jilbab itu kan dipake khusus buat shalat/pengajian. Kalau di tempat umum ya mesti dibuka. Bego aja kebalik-balik,”

54. begitulah kerjaan mereka, selain itu mereka juga aktif mengadakan acara2 pemurtadan secara pemikiran, dan disokong dana barat
55. JIL juga merilis FLA (fikih lintas agama) yang membolehkan nikah beda agama, penghapusan nisbah warisan dan masa iddah ada pada laki2
56. mereka mengkampanyekan sekulerisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis) sebagai tandingan syariat Islam dan Khilafah Islam
57. walau MUI telah mengharamkan sepilis kaum liberal ini, namun masyarakat tetap dijejali dengan ide ini, khususnya kaum awam
58. termasuk menyebar derivat sepilis seperti demokrasi yg mengambil hak Allah sebagai penentu halal dan haram dan serahkan pd suara mayoritas
59. liberalis membeli acara2 tv dan lapak2 di koran dengan uang dari barat dan memaksa ide liberal bercokol di kepala generasi Muslim
60. tak hanya tulisan dan radio, mereka juga merambah sinetron, dan film2 bioskop, seminar2 di kampus dan partai2 politik
61. org liberal merasa mereka keren ketika bisa kutip pendapat2 barat, tanpa sadar mereka cuma tugasnya membeo majikannya saja
62. lebih parah lagi, mereka kira dengan menjilat n ngibas-ngibasin ekor mereka bisa senangkan majikan, padahal nunggu dipotong juga
63. menjual agama atas dalil modernisasi, kebablasan, itulah kaum liberal, yang terkadang juga gak konsisten sama pendapatnya sendiri
64. bilang semua agama sama2 benar, tapi disuruh pindah agama keluar Islam gak mau, gak konsisten toh?
65. bilangnya semua agama sama, tapi mati masi mau dikainin kafan, kalo berani ya dibakar aja trus dibuang ke kalimalang
66. Betul ketika Hudzaifah meriwayatkan hadits Nabi bahwa akan ada “da’i-da’i yang menyeru pada neraka jahannam, yg ikut mrk akan masuk neraka”
67. Nabi jelaskan bahwa da’i penyeru neraka ini “dari kaum yg kulitnya sama seperti kamu, dan berbicara dengan bahasa kami”
68. begitulah JIL, berkulit Islam dan berbahasa Al-Qur’an, namun yang diserukannya adalah menuju pintu neraka jahannam.. innalillahi..
69. konsisten sekuler, web mereka jelaskan dasar JIL poin f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik
70. singkat cerita, sama seperti pendahulu2nya, sepertinya majikannya juga masih sama, JIL ingin menggagalkan penerapan syariat Islam
71. karena itulah kaum liberal dan JIL paling sewot bila ada kelompok yg menginginkan formalisasi syariat dalam negara dlm bentuk Khilafah
72. bila generasi liberal lalu memakzulkan Khilafah, maka peliharaan barat generasi baru ini menghalang-halangi kembalinya Khilafah Islam
73. subhanallah, terkadang Allah menguji kaum Muslim dengan musuh bersama, yang kita bersatu karenanya, menyadari pentingnya ukhuwah Islam
74. oleh karena itu, #IndonesiaTanpaJIL perlu digemakan, dan kita lanjutkan dengan Indonesia Dengan Syariah dan Khilafah”