Minggu, 22 April 2012

Ideolog Pejuang Syariah & Khilafah


PDF Print E-mail
Wednesday, 23 November 2011 17:24

Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani
Siapa yang tidak kenal Syeikh Taqiyuddin An Nabhani? Bagi para pejuang syariah dan khilafah namanya itu sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Melalui Hizbut Tahrir, partai politik Islam ideologis yang didirikannya, jutaan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia dibina secara intensif  untuk berjuang melanjutkan kembali kehidupan yang islami di bawah naungan khilafah Islam.
Biografi Singkat
Nama lengkap seorang ulama, qadhi, pemikir, dan politikus ulung ini adalah Syeikh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Peraih Syahadah al-‘Alamiyyah (Ijazah Internasional) Syariah dari Universiti Al Azhar Asy Syarif dengan predikat mumtaz (suma cum laude, nilai sempurna) pada 1932 ini dilahirkan di daerah Ijzim tahun 1909.
Ayahnya adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah. Dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu, tentu berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidupnya. Terbukti, Syeikh Taqiyyuddin telah hafal Alquran dalam usia 13 tahun.
Pengaruh dari sang kakek, Syeikh Yusuf An Nabhani, seorang hakim terkemuka dan tokoh sufi ternama, juga tak kalah besar. Syeikh Taqiyyuddin makin mengerti masalah politik, apalagi kakeknya pernah punya hubungan erat dengan para penguasa Khilafah Utsmaniyah saat itu.
Ia pun banyak belajar dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fikih yang diselenggarakan oleh sang kakek. Kecerdasan dan kecerdikan Syeikh Taqiyyuddin yang tampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya. Maka, kakeknya itu memandang perlu mengirim Syeikh Taqiyyuddin ke Al Azhar untuk melanjutkan pendidikan ilmu syariah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani kembali ke Palestina dan bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai guru di sebuah sekolah menengah atas di Haifa.
Di sinilah lambat laun ia menyaksikan kuatnya pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan, yang ternyata lebih besar daripada bidang peradilan, terutama peradilan syariah. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk menjauhi bidang pengajaran dan mulai mencari pekerjaan lain yang pengaruh peradaban Baratnya relatif lebih sedikit.
Ia lantas mendapat pekerjaan di Mahkamah Syariah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara. Kariernya terus melejit hingga pada 1948 ia diangkat sebagai hakim di Mahkamah Syariah Al Quds.
Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu, Al Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih, ia diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf.
Dalam setiap kesempatan, ia selalu menyampaikan gagasan wajibnya kaum Muslim untuk kembali menegakkan khilafah pasca keruntuhannya pada 1924. Ia membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa setiap orang yang ditemuinya, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam.
Aktivitas politiknya itu ternyata membuat Raja Abdullah bin Al Hussain marah, lalu dipanggillah Syeikh Taqiyyuddin untuk menghadap kepadanya. Ia diminta hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkannya menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Jordan.
Namun Syeikh Taqiyyuddin tidak menjawab pertanyaan itu, malah berpura-pura tidak mendengar. Ini menyebabkan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Akan tetapi Syeikh Taqiyyuddin tetap tidak menjawabnya.
Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepadanya, “Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?”
Lalu, Syeikh Taqiyuddin berkata kepada dirinya sendiri, “Kalau aku lemah untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti?”
Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya seraya berkata, “Aku berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi agamaNya dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama)Nya. Dan aku amat membenci sikap nifak dan orang-orang munafik!”
Maka merah padamlah muka Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga Syeikh Taqiyyuddin diusir dari  majelis tersebut dan disel.
Mendirikan Hizbut Tahrir
Sekeluarnya dari tahanan, Syeikh Taqiyyuddin lalu kembali ke Al Quds dan mengundurkan diri dari jabatannya seraya menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja melaksanakan tugas pemerintahan apa pun.”
Namun demikian, aktivitas politik Syeikh Taqiyyuddin tidak pernah surut dan tekadnya pun tidak pernah luntur. Untuk membakukan perjuangannya, ia pun mendirikan Hizbut Tahrir pada 1953. Namun baru saja beberapa jam berdiri, pemerintah Yordania langsung menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai terlarang.
Syeikh Taqiyyuddin tidak gentar dan tetap melanjutkan misinya menyebarkan risalah gerakan yang telah didirikan dan tetapkan falsafahnya dengan karakter tertentu yang digali dari nash-nash syara dan sirah Nabi SAW. Melalui partainya, ia menaruh harapan besar untuk membangkitkan umat Islam.
Syeikh Taqiyyuddin menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizb yang dipimpinnya hingga berpulang ke rahmatullah pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M.
Upaya ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizb sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, kendatipun Hizb tetap tergolong partai terlarang di sebagian negeri di dunia.
Di samping itu, Syeikh Taqiyyuddin telah meninggalkan kitab-kitab penting sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Ia yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizb, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara, maupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial.
Kitab-kitab Syeikh Taqiyyuddin terlihat istimewa karena mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan problematika manusia. Setidaknya ada 25 kitab yang telah ditulisnya. Kebanyakan karyanya berupa kitab-kitab tanzhiriyah (penetapan pemahaman/pandangan) dan tanzhimiyah (penetapan peraturan).
Semua kitab itu ditulis dalam rangka mengajak kaum Muslimin untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam (li'istina fil hayatil Islam) melalui penegakan khilafah (khilafah ala minhajin nubuwwah). []joy/berbagai sumber

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar