Berikut ini adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh
manusia mulia. Baik yang melakukannya di istana penguasa atau di
tempat selain istana. Sekaligus paparan di bawah ini sebagai koreksi
bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan menegur kesalahan
penguasa secara terang-terangan.
Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak
membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika
ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas
negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan
manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau
melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab:
“Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah:
“
.... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali
dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)
Umar
menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding
Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
Inilah
Umar bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita
tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak
mengatakan: “Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah, seharusnya
engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan!” Tidak.
Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di
depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang
melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut. Jikalau
wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia
akan diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada
pengingkaran itu. Ini disebabkan karena keputusan khalifah Umar,
akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka meralatnya pun dilakukan
secara terbuka.
Metode ini juga dijalankan oleh para
tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam
kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara
empat mata dan sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa
tahu peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam
Fulan telah menasehati khalifah, atau gubernur, maka ini sudah tidak
bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab ada orang lain yang
mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan ke
generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.
Imam Ibnu Khaldun
juga mengatakan tidak boleh dikatakan ‘memberontak’ bagi orang yang
melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan
contoh perlawanan Al Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun
disebut sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al
Husein adalah benar, ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah
syahid. Tidak boleh dia disebut bughat (memberontak/makar) sebab istilah memberontak hanya ada jika melawan pemimpin yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113)
Berikutnya, ini adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin.
Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Tentang kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:
عن
أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم
يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على
عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير
الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى
الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
“Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim,
saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj):
“Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan
pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka
terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan
kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said
bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh
Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin
Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
Demikianlah
salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang
ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Al Imam Sa’id bin Jubeir Rahiallahu ‘Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim
saat itu. Dia tidak mengatakan: “Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan
menasihatinya empat mata!” Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan
setelahnya, menjulukinya khawarij.
Tentang Imam Sa’id bin Jubeir, berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:
كان
أعلمهم بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام
طاووس، وأعلمهم بالطلاق سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه العلوم سعيد بن
جبير
“Yang paling tahu tentang Al Quran
adalah Mujahid, yang paling tahu tentang Haji adalah ‘Atha, yang
paling tahu tentang halal dan haram adalah Thawus, yang paling tahu
tentang thalaq adalah Sa’id bin Al Musayyib, dan yang mampu
mengkombinasikan semua ilmu-ilmu ini adalah Sa’id bin Jubeir.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 4/341. Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Sementara Ali Al Madini berkata:
ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير. قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس ولا أحد.
“Di
antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak ada yang seperti Sa’id bin
Jubeir.” Ada yang berkata: “Tidak pula Thawus?” Ali Al Madini
menjawab: “Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya.” (Ibid)
Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Beliau
sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj
bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan
perlawanan fisik.
Imam Adz Dzahabi juga menceritakan,
bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj
bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari
Mujalid, bahwa Asy Sya’bi berkata:
فأتاني
قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا
حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني
أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن
الدنيا عليه أضيق من مسك جمل
“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.”
Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah
kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah
mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat
lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)
Demikianlah
Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara
terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak
mengatakan: “Aku akan temui Al hajjaj secara empat mata, lalu aku akan
beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak
demikian.
Siapakah Imam Amr Asy Sya’bi? Dia adalah Imam
Fiqih dan hadits pada masa tabi’in. Banyak sanjungan manusia
kepadanya. Berkata Abu Usamah:
كان عمر في زمانه
رأس الناس وهو جامع، وكان بعده ابن عباس في زمانه، وكان بعده الشعبي
في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه، ثم كان بعده يحيى بن آدم
“Umar
bin Al Khathab adalah pemimpin manusia pada zamannya, selanjutnya
Ibnu Abbas adalah pemimpin manusia pada zamannya, lalu Asy Sya’bi
pada zamannya, kemudian Sufyan Ats Tsauri pada masanya, lalu Yahya
bin Adam pada masanya.” (Ibid, 4/302)
Daud bin Abi Hindi berkata:
ما جالست أحدا أعلم من الشعبي.
“Belum pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu dibanding Asy Sya’bi.” (Ibid)
Abu ‘Ashim bin Sulaiman berkata:
ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة والحجاز والآفاق من الشعبي
“Tidaklah
aku melihat seorang pun yang lebih tahu tentang hadits di Kufah,
Bashrah, Hijaz dan berbagai penjuru, dibandingkan Asy Sya’bi.” (Ibid)
Dan masih banyak sanjungan lainnya.
Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu terhadap Ibnu Hubairah
Beliau
dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan
penguasa yang zalim. Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa
zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya,
Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan
Khalifah Marwan.
Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر
بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال:
فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا،
قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن
سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة
آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين
فلم يأخذها.
Ja’far bin Marzuq berkata,
“Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri),
dan Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya
kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau
mendekat pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat
kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukan
tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata
(kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya bertanya,
tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah
akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga
ribu dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia
mengambil hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)
Imam Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
“Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
Inilah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu,
dia menegur kezaliman yang ada dalam istana, di depan banyak orang
dan ulama. Mereka seperti Al Hasan dan Asy Sya’bi, pun tidak
mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku
ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di istanamu
telah merata!” Tidak demikian.
Lagi pula, tahu dari
mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas terhadap
penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?
Siapakah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu? Pada masanya dia dikenal orang yang sangat wara’, ahli fiqih, ahli tafsir mimpi, dan periang.
Berikut ini parade pujian para ulama untuk Imam Ibnu Sirin Radhiallahu ‘Anhu. Sebagaimana yang dicatat oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab As Siyar-nya:
قال ابن عون: كان محمد يأتي بالحديث على حروفه، وكان الحسن صاحب معنى.
عون بن عمارة: حدثنا هشام، حدثني أصدق من أدركت، محمد بن سيرين.
قال
حبيب بن الشهيد: كنت عند عمرو بن دينار فقال: والله ما رأيت مثل
طاووس، فقال أيوب السختياني وكان جالسا: والله لو رأى محمد بن سيرين لم
يقله.
معاذ بن معاذ: سمعت ابن عون يقول: ما رأيت مثل محمد بن سيرين.
وعن خليف بن عقبة، قال: كان ابن سيرين نسيج وحده.
وقال حماد بن زيد، عن عثمان البتي، قال: لم يكن بالبصرة أحد أعلم بالقضاء من ابن سيرين .
وعن شعيب بن الحبحاب، قال: كان الشعبي يقول لنا: عليكم بذلك الاصم يعني ابن سيرين .
وقال ابن يونس: كان ابن سيرين أفطن من الحسن في أشياء
“Berkata Ibnu ‘Aun: “Muhammad bin Sirin meriwayatkan hadits dengan huruf-hurufnya, sementara Al Hasan yang mengetahui maknanya.”
“Aun
bin ‘Imarah, bercerita keada kami Hisyam, telah bercerita kepadaku
bahwa orang yang paling jujur yang pernah aku temui adalah
Muhammad bin Sirin.
Habib bin Asy Syahid berkata: Aku
bersama Amr bin Dinar, dia berkata: “Demi Allah aku tidak pernah
melihat orang seperti Thawus.” Maka, Ayyub As Sukhtiyani sambil
duduk menimpali: “Demi Allah, seandainya dia melihat Muhammad bin
Sirin, tidak akan dia berkata seperti itu.”
Muadz bin Muadz berkata, aku mendengar Ibnu ‘Aun berkata: “Aku belum pernah melihat orang semisal Muhammad bin Sirin.”
Dari Khalifah bin ‘Uqbah, dia berkata: “Adalah Ibnu Sirin dia menenun (pakaiannya) sendiri.”
Dari
Hammad bin Zaid, dari Utsman Al Bati: “Tidak pernah ada di Bashrah
orang yang paling tahu tentang kehakiman (hukum) dibanding Ibnu
Sirin.”
Ibnu Yunus berkata: “Ibnu Sirin lebih cerdas dibanding Al Hasan Al Bashri di banyak hal.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/608)
Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi
Siapa
yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para
ulama pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara
terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang
sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah. Berikut ini
ceritanya, sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim Al
Ashbahani.
Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:
عطاء
بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه
فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة
بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير
المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين.
قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى
آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له
كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به
أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه
الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة.
’Atha
bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia
berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan
melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu
Abdillah, inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al
Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan
tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara wahai amirul
mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai
Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul
mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”
Sufyan berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.” Sufyan berkata: “Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.”
‘Atha berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia
berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya
kepadanya: “Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai
Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia
keluar, maka para sahabat Sufyan mengelilinginya dan bertanya: “Apa
yang dia larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia
memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As
Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’, 3/166. Mauqi’ Al Warraq)
Demikianlah
Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan teguran yang mendalam, bahkan
meminta agar para sahabatnya meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan
pengikutnya. Dia tidak mengatakan: “Biarkanlah dia, aku akan
menasihatinya secara empa mata.” Tidak. Dia langsung menegurnya, walau
di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah Imam
Ahlus Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Selain
seorang ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak
seperti prasangka sebagian kecil manusia, yang menuduhnya tidak
pernah ikut berperang bersama kaum muslimin. Justru beliau adalah
bintangnya dan pemimpin mereka.
Berkata Al Alusi tentang Imam Ibnu Taimiyah:
“Adapun
keberanian dan jihadnya, maka suatu penjelasan apa pun tidak dapat
mencakupnya secara sempurna. Ia sebagaimana yang diceritakan Al
Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh dalam Manaqib-nya adalah orang
yang paling berani dan tegar hati menghadapi musuh. Aku belum pernah
melihat manusia yang keberaniannya melebihi Ibnu Taimiyah dan
semangat jihad melawan musuh melebihi semangatnya Ibnu Taimiyah. Ia
selalu berjihad di dalan Allah dengan hati, lisan, dan tangannya dan
tidak takut hinaan orang yang suka menghina dalam membela agama
Allah Ta’ala.
Banyak orang menceritakan bahwa Syaikh
Ibnu Taimiyah juga sering ikut bersama pasukan Islam dalam
peperangan melawan musuh. Apabila ia melihat pasukan yang gelisah
dan takut, maka ia memberikan semangat kepadanya, memantapkan
hatinya, menjanjikan kemenangan dan ghanimah kepadanya, dan menjelaskan keutamaan jihad dan mujahidin.” (Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 796. Pustaka Al Kautsar)
Syaikh Ahmad Farid juga menceritakan keberanian Imam Ibnu Taimiyah di medan tempur:
“Seorang
panglima perang mencertakan tentang perang Syaqhab. Ia mengatakan,
“Syaikh Ibnu Taimiyah berkata kepadaku ketika dua pasukan sudah
terlihat,”Wahai kamu, perlakukanlah aku seolah aku sudah mati.” Lalu
aku membawanya (Ibnu Taimiyah) ke depan, sementara musuh-musuh
sudah turun bak banjir yang mengalir dengan deras. Peralatan perang
mereka terlihat di sela-sela debu yang berterbangan.
Lalu,
aku berkata kepadanya: Ini akan mengantarkanmu pada kematian.
Batalkan keinginanmu itu!” Ia menengadahkan mukanya ke langit,
meluruskan pandangannya, dan menggerakkan kedua bibirnya dalam
waktu yang lama kemudian bangkit dan maju ke medan perang. Aku
tidak melihatnya lagi sampai Allah memberikan kemenangan pada umat
Islam yang berhasil masuk ke kota Damaskus.” (Ibid, Hal. 798-799)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali juga meceritakan tentang Imam Ibnu Taimiyah:
قدم
إلى الشام هو وإخوته سنة اثنتي عشرة بنية الجهاد، لما قدم السلطان
لكشف التتر عن الشام. فخرج مع الجيش، وفارقهم من عسقلان، وزار البيت
المقدس.
“Beliau bersama saudaranya, dua belas
tahun, datang ke Syam dengan niat berjihad, ketika datangnya
sultan untuk mengusir Tartar dari Syam. Ibnu Taimiyah keluar
bersama pasukan, dan berpisah dengan mereka dari Asqalan, dan
berziarah ke Baitul Maqdis.” (Imam Ibnu Rajab, Dzail Thabaqat Al Hanabilah, 1/343. Mauqi’ Al Warraq)
Beliau
juga sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa
itu muslim. Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang berani dan
secara terbukan kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid
berkata:
“Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di
Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang
banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untk
menyerang kaum musimin Damaskus.”
(Demikianlah rencana jahat
Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum
muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
“Namun
berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia
langsung bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang
rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan,
keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.”
(Inilah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya menuju
istana Sultan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya
bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus.
Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Imam Ibnu Taimiyah
tidak mengatakan: “Aku akan nasihati Sultan Ghazan secara empat
mata.” Justru ia melakukannya bersama umat Islam secara
terang-terangan. Apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh Imam
Ibnu Taimiyah, jika saat ini dia melihat ada sebuah negara muslim
yang meminta pertolongan Amerika Serikat untuk menyerang kaum
muslimin Iraq? Atau mengizinkan tentara kafir membuka pangkalan
militer di negeri muslim agar mereka mudah mengendalikan
negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan dan Raja Al
Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat
ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin
kolonialisme modern, AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam
Ibnu taimiyah!)
Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid mengatakan:
“Tatkala
Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati
Sultan Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia
meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.
Kesempatan
tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya,
yaitu memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk
menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu
Ghazan tentang kehormatan darah mslimin, mengingatkan dan memberi
nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah
tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga
isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.” (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)
Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
Beliau dijuluki Shulthanul ‘Ulama
(pemimpinnya para ulama) pada masanya. Dialah ulama yang sangat
pemberani terhadap kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang
menyimpang langsung di depannya dan dihadapan banyak manusia, bahkan
juga di mimbar khutbah Jumat.
Kami akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:
Syaikh
Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh
kami, Izzuddin pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di
Qal’ah (benteng Shalahuddin).
Di sana ia
menyaksikan para prajurit yang berbaris di depan Sultan Najmuddin
dan dewan kerajaan saat itu. Suasana kerajaan saat itu sangat
megah. Sultan Najmuddin keluar kepada mereka dengan memakai
perhiasan sebagaimana adat para Sultan di Mesir. Para pejabat saat
itu pun sujud mencium tanah di depan sang Sultan.
Melihat
peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin
dan berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan
Allah ketika Dia berkata kepadamu,”Aku telah berikan kerajaan Mesir
kepadamu lalu kamu memperbolehkan khamr!” Sultan Najmuddin Ayyub
berkata, “Apakah ini terjadi?” Syaikh Izzuddin menjawab, “Ya, di
toko seorang perempuan telah dijual minuman khamr dan hal-hal lain
yang munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan kerajaan
ini.”
Syaikh Izzuddin memanggilnya (sultan) dengan
suara sangat keras, sementara itu para prajuritnya membisu dan
keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai Tuanku, itu
bukan perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh
Izzuddin berkata: “Kamu termasuk golongan orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43): 22)
Lalu Sultan Ayyub merencanakan memusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)
Inilah
Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdissalam, dengan suara lantang dia
mengkritik sultan di depan banyak manusia, dan hal itu efektif
sebagai presure (tekanan) agar sultan mau menerima nasihatnya.
Bahkan,
lebih berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa
para sultan saat itu masih terjerat hukum perbudakan sehingga para
sultan adalah milik baitul mal kaum muslimin. Para sultan ini boleh
dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hingga wakil sultan marah
dan berkata: “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan ingin menjual
kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan
penggal kepalanya!”
Namun yang terjadi ketika wakil
sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam, justru
pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam
Izzuudin. Wakil sultan berkata: “Wahai Tuanku, apa yang kau
inginkan?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Aku memanggil dan menjual
kalian.” Wakil sultan bertanya: “Untuk apa kau menjual kami?” Syaikh
Izzuddin menjawab: “Demi kemaslahatan umat Islam.” Wakil sultan
bertanya lagi: “Siapa yang menerimanya?” Syaikh Izzuddin menjawab:
“Akulah yang menerimanya.” Lalu para pejabat pemerintah dipanggil
satu persatu dan dijual dengan harga mahal. Hasil penjualan mereka
digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa yang
belum pernah terjadi sebelumnya.” (Ibid, Hal. 749-750)
Ada
peristiwa yang mirip dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki
menceritakan tentang penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail,
panggilannya Abu Al Khaisy. Dia berkolaborasi dengan pasukan Eropa untuk
menyerahkan kota Shida dan beneng Asy Syaqif kepada Eropa. Tindaka
ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia tidak mendoakannya
dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau ditemani
oleh Abu Amr bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah
membaut sultan marah. (Ibid, Hal. 750)
Inilah
Al Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah
bermadzhab syafi’i. Imam Ad Dzahabi menyebutnya sebagai seorang yang
sudah taraf mujtahid, dan Imam As Suyuhi juga menyebukan di akhir
hayatnya dia tidak lagi terika madzhab, sudah berfatwa dengan
fatwanya sendiri.
Demikianlah. Sebenarnya masih
banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah
cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka,
bukanlah hal yang tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini
adalah perbuatan mulia yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam
Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Menasihati
pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat
dari sisi benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya
yang lebih tepat guna dan efektif dalam merubah penyimpangan
penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian dan analisa. Bisa jadi ada
penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari rakyatnya, ada
juga yang sudah bisa berubah walau di nasihati oleh orang
terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan
kejelian sangat diperlukan dalam memutuskan masalah ini.
Dan,
yang jelas tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa
menasihati pemimpin secara terbuka adalah bentuk pemberontakan
bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang amat jauh. Tidak pantas
menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang satu berdosa,
dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pla hal itu
disamakan dengan keluarnya kaum khawarij terhadap pemerintahan Ali.
Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau pemimpin yang
zalim, bukan pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
وعامتهم : dan orang-orang umumnya
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وَأَمَّا
نَصِيحَة عَامَّة الْمُسْلِمِينَ وَهُمْ مَنْ عَدَا وُلَاة الْأَمْر
فَإِرْشَادهمْ لِمَصَالِحِهِمْ فِي آخِرَتهمْ وَدُنْيَاهُمْ ، وَكَفّ
الْأَذَى عَنْهُمْ فَيُعَلِّمهُمْ مَا يَجْهَلُونَهُ مِنْ دِينهمْ ،
وَيُعِينهُمْ عَلَيْهِ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْل ، وَسِتْر عَوْرَاتهمْ ،
وَسَدّ خَلَّاتهمْ ، وَدَفْع الْمَضَارّ عَنْهُمْ ، وَجَلْب
الْمَنَافِع لَهُمْ ، وَأَمْرهمْ بِالْمَعْرُوفِ ، وَنَهْيهمْ عَنْ
الْمُنْكَر بِرِفْقٍ وَإِخْلَاصٍ ، وَالشَّفَقَة عَلَيْهِمْ ،
وَتَوْقِير كَبِيرهمْ ، وَرَحْمَة صَغِيرهمْ ، وَتَخَوُّلهمْ
بِالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَة ، وَتَرْك غِشِّهِمْ وَحَسَدِهِمْ ،
وَأَنْ يُحِبَّ لَهُمْ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنْ الْخَيْر ،
وَيَكْرَه لَهُمْ مَا يَكْرَه لِنَفْسِهِ مِنْ الْمَكْرُوه ،
وَالذَّبّ عَنْ أَمْوَالهمْ وَأَعْرَاضهمْ ، وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ
أَحْوَالهمْ بِالْقَوْلِ وَالْفِعْل ، وَحَثّهمْ عَلَى التَّخَلُّق
بِجَمِيعِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنْوَاع النَّصِيحَة ، وَتَنْشِيط
هَمِّهِمْ إِلَى الطَّاعَات .
“Ada pun nasihat bagi umumnya kaum muslimin, dan mereka adalah selain para pemimpin, yakni:
- dengan membimbing mereka untuk mendapatkan kebaikan baik dunia dan akhirat,
-menahan diri untuk menyakiti mereka,
-mengajarkan mereka apa-apa yang mereka tidak tahu dari perkara agama,
-menolong mereka dengan ucapan dan perbuatan,
-menutupi aurat mereka,
- memenuhi kekosongan mereka,
-mencegah kerusakan bagi mereka,
-memberikan manfaat untuk mereka, memerintahkan kepada kebaikan,
- mencegah mereka dari kemungkaran dengan lembut dan ikhlas,
-menyayangi mereka, menghormati yang tua, menyayangi yang muda,
- memperhatikan mereka dengan mauizhah hasanah,
- tidak menipu dan dengki,
- mencintai untuk mereka apa-apa yang dia cintai berupa kebaikan,
- membenci untuk mereka apa yang dia benci berupa hal yang dibenci,
-melindungi harta dan kehormatan mereka,
-selain hal itu melindungi keadaan mereka baik dengan ucapan dan perbuatan,
-dan
menganjurkan mereka dengan akhlak yang telah kami sebutkan yang
merupakan bagian dari jenis nasihat, dan membangkitkan hasrat mereka
kepada ketaatan. (Al Minhaj, 1/144)
Wallahu'alam
Referensi kedua : http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar