Minggu, 08 April 2012

Ancaman Bagi Penghalang Syariah!


كَلا إِنَّ الإنْسَانَ لَيَطْغَى، أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى، إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى، أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى، عَبْدًا إِذَا صَلَّى، أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى، أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى، أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى، أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى، كَلا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ، نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ، فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ، سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ، كَلا لا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ.
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kamu kembali. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat? Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah Dia mengetahui bahwa Allah melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami bakal menarik ubun-ubunnya; (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Biarlah Dia memanggil golongannya (untuk menolongnya). Kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan. Janganlah kamu patuh kepada dia. Bersujudlah engkau dan mendekatlah (dirimu kepada Tuhan) (QS al-‘Alaq [96]: 6-19).

Ayat-ayat ini termasuk dalam surat al-Alaq. tetapi tidak turun bersamaan dengan lima ayat sebelumnya. Lima ayat sebelumnya merupakan ayat yang pertama kali diturunkan. Adapun ayat-ayat ini turun setelah beberapa ayat dalam surat lainnya. Telah maklum bahwa susunan ayat dalam surat tidak didasarkan pada urutan turunnya, namun didasarkan pada perintah Allah SWT.
1

Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Kallâ inna al-insâna layathghâ (Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas). Kata kallâ merupakan harf yang memiliki beberapa arti. Menurut al-Qurthubi, al-Baghawi, al-Abyari, as-Samarqandi dan al-Wahidi kata kallâ di sini berarti haqq[an] (benar).2 Az-Zamakhsyari, al-Baidhawi, asy-Syaukani dan al-Alusi menafsirkan kallâ sebagai rad’[un] (mencegah, menghalangi) bagi orang yang mengingkari nikmat Allah dengan melakukan tindakan melampaui batas. Meskipun tidak disebutkan, penunjukan kalimat menunjukkan makna demikian.3
 
Pengertian al-insân merujuk kepada anak-cucu Adam. Meskipun kata tersebut menunjukkan li al-jins, dalam konteks ayat ini tidak mencakup semua jenis manusia. Menurut Muqatil, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Jahal. Apabila mendapatkan harta, maka dia menambah pakaian, kendaraan dan makanannya. Tindakan tersebut melampaui batas.4

Ditegaskan bahwa manusia itu layathghâ. Ath-thughyân adalah mujâzawah al-hadd fî al-‘ishyân (melampaui batas dalam kemaksiatan). Oleh karena itu, kata yathghâ di sini berarti melampaui batas dan bersikap sombong terhadap Tuhannya.5 Realitas tersebut ditegaskan oleh dua huruf yang menunjukkan makna tawkîd, yakni huruf inna dan huruf al-lâm. 

Kemudian disebutkan: an ra’âhu [i]staghnâ (karena dia melihat dirinya serba cukup). Huruf an merupakan harf mashdariyyah. Menurut al-Alusi, frasa tersebut berkedudukan sebagai maf’ûl min ajlihi. Artinya, dia bertindak melampaui batas karena dia merasa dirinya cukup.6 Kata mustaghniyy[an] berarti dia merasa dirinya cukup dengan harta, anak-anak dan kekuasaannya.7
 
Lalu Allah SWT berfirman: Inna ilâ Rabbika ar-ruj’â (Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kamu kembali). Kata ar-ruj’â merupakan bentuk mashdar ber-wazan fu’lâ seperti halnya kata al-busyrâ. Kata ar-ruj’â, al-marji’ dan ar-rujû’ merupakan bentuk mashdar, maknanya al-mashîr wa al-‘awdah (tempat kembali atau kembali).8 Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa manusia akan dikembalikan kepada Allah SWT. Manusia pun tidak bisa mengelak dari hisab Allah dan menerima balasan atas semua perbuatan yang mereka kerjakan selama di dunia, termasuk tindakan melampaui batas dan sikap sombong yang dilakukan. Oleh karena itu, menurut ar-Razi dan al-Baidhawi ayat ini memberikan tahdîd[an] wa tahdzîr[an] (ancaman dan peringatan) bagi manusia akibat tindakan melampaui batas yang mereka lakukan.9
 
Setelah itu Allah SWT berfirman: Ara’ayta al-ladzî yanhâ ‘abd[an[ idzâ shallâ (Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat). Dijelaskan al-Qurthubi, Ibnu Katsir dan asy-Syaukani, al-ladzî yanhâ adalah Abu Jahal, sedangkan yang dimaksud ‘abd[an] adalah Rasulullah saw.10 Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata, “Jika aku melihat Muhammad shalat, sungguh akan kupukul lehernya.” Kemudian turunlah ayat-ayat ini sebagai ta’ajjub[an] (bentuk keheranan).11 Penjelasan serupa juga dikemukakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan Qatadah.12
 
Huruf hamzah pada kata ara’ayta merupakan istifhâm yang menunjukkan li al-inkâr wa at-ta’ajjub (pengingkaran dan keheranan), yang bermakna akhbirnî (kabarkanlah kepadaku).13 Sungguh, amat mengherankan ada orang yang melarang seorang hamba untuk beribadah kepada Tuhannya. 

Kemudian ditegaskan: Ara’ayta inkâna ‘alâ al-hudâ (Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran). Karena masih kelanjutan ayat sebelumnya, hamba yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw. Ditegaskan bahwa hamba tersebut alâ al-hudâ, yakni ‘alâ al-tharîqah al-mustaqîmah fîqawlihi wa fi’lihi (berada di atas jalan yang lurus, baik ucapan maupun perbuatannya).14
 
Juga: Aw amara bi al-taqwâ (atau dia menyuruh bertakwa [kepada Allah). Tak hanya berada di atas petunjuk, hamba tersebut juga mengajak orang lain seperti dirinya yang berada di atas petunjuk. Dia memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah, yakni mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; atau menurut al-Baghawi, memerintahkan untuk ikhlas dan tauhid.15 Ajakan ini seharusnya disambut dengan baik dan penuh sukacita. Sebab, ajakan tersebut dapat mengantarkan manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jadi, sungguh mengherankan jika ajakan tersebut ditolak, apalagi dihalangi. 

Kemudian ditegaskan lagi: Ara’ayta in kadzdzaba wa tawallâ (Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?). Berkebalikan dengan yang dilarang. Orang yang melarang tersebut adalah kaddzaba wa tawallâ (yang mendustakan dan berpaling), yakni mendustakan apa yang dibawa Rasulullah saw. dan berpaling dari keimanan.16 Al-Farra’ berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang hamba ketika dia mengerjakan shalat, padahal orang yang dilarang tersebut berada di atas petunjuk dan memerintahkan ketaatan, sedangkan yang melarang justru orang yang mendustakan dan berpaling dari peringatan. Apa yang lebih mengherankan dari ini?17

Kemudian Allah SWT berfirman: Alam ya’lam bi annal-Lâh yarâ (Tidaklah Dia mengetahui bahwa Allah melihat segala perbuatannya). Semua tindakan zalim yang dilakukan tidak akan dibiarkan begitu saja. Semua dilihat dan didengar oleh Allah dan Dia akan membalas semua yang dikerjakan dengan balasan yang sempurna.18 Ini merupakan takhwîf[an] syadîd[an] li al-‘ushâh wa targîb[an] ‘azhîm[an] l ahl al-thâ’ah (ancaman keras bagi pelaku ketaatan dan dorongan besar bagi pelaku ketaatan).19

Allah SWT berfirman: Kallâ la in lam yantahi lanasfa’an bi al-nâshiyah (Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti [berbuat demikian] niscaya Kami bakal menarik ubun-ubunnya). Ini merupakan teguran keras kepada Abu Jahal dan orang-orang yang melakukan tindakan serupa dengannya. Apabila tidak juga berhenti dari tindakannya yang zalim dan durhaka, maka hukuman keras akan ditimpakan kepada mereka. Hukuman tersebut adalah lanasfa’an bi al-nâshiyah. 

Kata as-saf’u berarti al-qabdhu ‘alâ asy-syay’ wa jadzabahu bi syiddah (menggenggam sesuatu dan menariknya dengan keras). Ini seperti yang disebutkan dalam QS ar-Rahman [55]: 41.20 Adapun an-nâshiyah adalah sya’r muqaddam ar-ra’s (rambut bagian depan kepala). Kata ini digunakan untuk mengungkapan diri seseorang secara keseluruhan. Disebutkan nâshiyah secara khusus karena kebiasaan orang Arab jika ingin menghinakan atau merendahkan seseorang ditarik jambulnya.21

Lalu dijelaskan lagi: Nâshiyat[in] kâdzbat[in] khâthi’at[in] ([yaitu] ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka). Yang ditarik tersebut adalah nâshiyah kâdzibah khâthi’ah, yakni kâdzibah fî qawlihi (pendusta dalam ucapannya); dan khâthi’ah fí fi’lihi (salah dalam ucapannya).22 Kata al-khâthi‘ berarti orang yang menyengaja berbuat seuatu yang tidak selayaknya. Adapun al-mukhti‘ adalah orang yang menginginkan kebenaran, lalu terjerumus pada yang lain. Apabila al-khâthi‘ dihukum (lihat QS al-Haqqah [69]: 37), al-mukhthi‘ tidak dihukum.

Kemudian Allah SWT berfirman: Falyad’u nâdiyah (Biarlah Dia memanggil golongannya [untuk menolongnya]). Menurut az-Zamakhsyari, pengertian al-nâdî adalah majelis tempat berkumpulnya suatu kaum. Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir dan al-Baghawi memaknainya sebagai kaum dan keluarganya. Maka dari itu, mintalah pertolongan kepada mereka.23

Akan tetapi permintaan tolong itu sama sekali tidak berguna. Sebab, Allah SWT berfirman: Sanad’u az-zabâniyyah (kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah). Kata Az-zabaniyyah merupakan bentuk jamak dari kata az-zabani yang berarti al-daf’ (mendorong). Menurut Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud dengan itu adalah zabaniyyah Jahannam. Dinamakan demikian karena merekalah yang mendorong ahli neraka ke dalam neraka. Al-Zujjaj mengatakan: mereka adalah al-malâikah al-ghilâzh asy-syidâd (malaikat yang kasar lagi keras).24

Lalu surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Kallâ lâ tuthi’hu wa[u]sjud wa [i]tarib (Sekali-kali jangan. Janganlah kamu patuh kepada dia. Bersujudlah dan mendekatlah (dirimu kepada Tuhan). Kallâ di sini berarti: perkaranya tidak seperti yang diduga Abu Jahal. Lâ tuthi’hu berarti: Janganlah kamu menaati perkara yang diminta untuk meninggalkan shalat. Larangan ini seperti yang terdapat dalam QS al-Qalam [68]: 8). Kemudian diperintahkan: wa[u]sjud. Perintah bersujud berarti: shalatlah untuk Allah; dengan mengabaikan orang yang melarang dan tidak mempedulikan larangannya. Adapun wa[i]qtarib berarti bertaqarrublah kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah.25

Ancaman bagi Penghalang Syariah
Patut dicatat, sekalipun ayat-ayat di atas turun berkenaan dengan Abu Jahal, ia berlaku atas siapa yang bersikap sama atau mengikuti jejak Abu Jahal. Sebagaimana dinyatakan Abdurrahman as-Sa’di, ayat ini berlaku umum untuk semua orang yang melarang kebaikan dan yang dilarang atas dirinya.26

Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari ayat-ayat ini. Pertama: tentang orang yang melampaui batas dan bertindak sombong terhadap Tuhannya. Telah maklum bahwa Allah SWT telah memberikan syariah bagi seluruh manusia. Syariah tersebut berfungsi sebagai hudûdul-Lâh (batas-batas Allah) yang tidak boleh dilanggar. Barangsiapa yang melanggar berarti telah melampaui batas. Terhadap pelakunya, Allah SWT memberikan ancaman dan peringatan keras. Dalam ayat ini juga diberitakan mengenai penyebab munculnya sikap tercela tersebut, yakni merasa dirinya serba cukup dan tidak membutuhkan yang lain, termasuk Allah SWT. Oleh karena itu, jika ingin mengubah sifat tercela tersebut dari dirinya, maka orang tersebut harus menghilangkan sikapnya yang merasa dirinya serba cukup.

Kedua: tentang orang yang melarang dan menghalangi manusia melakukan ketaatan. Orang yang dilarang tersebut berada di atas petunjuk dan memerintahkan orang lain berbuat takwa. Sebaliknya, orang yang melarang tersebut justru mendustakan Rasul dan risalahnya serta berpaling darinya. Terhadap mereka, ayat ini memberikan acaman keras. Mereka akan ditarik rambutnya dan dimasukkan ke dalam neraka-Nya. Segala kekuatan yang dimiliki tidak berguna sama sekali karena berhadapan dengan Malaikat Zabaniyyah yang amat kasar lagi keras dan mendorongnya ke dalam neraka.

Ancaman ini tidak hanya berlaku berlaku penghalang shalat, namun juga bagi penghalang semua hukum syariah lainnya seperti zakat, puasa, haji, dakwah, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya adalah orang yang menghalangi tegaknya Khilafah dan para pejuangnya. Sebab, Khilafah bukan saja perkara yang disyariatkan, namun tanpa Khilafah banyak hukum syariah yang terlantar dan terabaikan.

Ketiga: orang yang dilarang melakukan ketaatan. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa mereka dilarang untuk mengikuti perintah dan keinginan orang durhaka tersebut. Perintah tersebut tidak boleh didengar dan dipedulikan sama sekali. Sebaliknya, mereka harus tetap kukuh mengikuti perintah kepada Allah SWT, apa pun risikonya. Sebab, mereka di atas petunjuk kebenaran. Maka dari itu, mereka harus tetap bersujud, shalat, beribadah dan menghamba kepada Allah SWT. Mereka juga diperintahkan untuk menambah taqarrub kepada Alllah SWT. Di antara taqarraub yang paling besar adalah berjuang menegakkan Khilafah. Sebab, dengan tegaknya khilafah, syariah secara kaffah bisa diterapkan. Inilah yang harus dilakukan. Ketika ini dilakukan, maka kebahagiaan di dunia dan akhirat akan didapat. Ampunan, surga dan ridha-Nya adalah balasan yang bakal diterima. Siapa yang tidak senang menyambut?
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Mishriyyah, 1963), 123.
2 Al-Qurthubi, Ibid.,; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (tt: Dar al-Thayyibah, 1997), 479; al-Abyari, Al-Mawsû’ah al-Qur‘âniyyah, vol. 11 (tt: Sajjal al-‘Arab, 1984), 481; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. al-Wahidi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz (Beirut: Dar al-Qalam, 1995), 1216.
3 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 777; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihyâ’ al-Turast al-‘Arabi, 1998), 325; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1994), 571; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 403.
4 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 479
5 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 571
6 Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 404
7 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 594
8 Al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 315.
9 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 2000), 221; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl, vol. 5, 325. Lihat juga dalam al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1997), 663.
10 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairoi: Dar al-Kutub al-Mishiriyyah, 1964), 124; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 422; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 572.
11 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 124.
12 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 565.
13 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 322.
14 Ash-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 555. Lihat juga dalam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 423.
15 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 282.
16 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 574.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 124.
18 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 423.
19 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 3; 223; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 778 menyebutnya sebagai wa’îd (peringatan keras, ancaman).
20 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 3; 224; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 778.
21 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 125.
22 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 126.
23 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 778; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 282; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 423.
24 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 282
25 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 128; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 574
26 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 930.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar